:: UI - Skripsi Open :: Kembali

UI - Skripsi Open :: Kembali

Penerapan asas praduga tidak bersalah dalam proses peradilan pidana Indonesia pada media massa (studi kasus putusan mahkamah agung Republik Indonesia nomor : 1608 K/PID/2005

R. Ay Koes Sabandiyah; Rudy Satriyo Mukantardjo, supervisor; Flora Dianti, supervisor (Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009)

 Abstrak

Penerapan asas praduga tidak bersalah dalam kegiatan jurnalistik agar dapat memberikan perlindungan kepada terdakwa, dan apakah liputan yang dilakukan oleh media massa dalam proses persidangan telah melanggar asas praduga tidak bersalah, merupakan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Dalam mekanisme pemuatan suatu berita yang penting adalah, apakah sebelum berita diturunkan sudah dilakukan cek dan ricek serta klarifikasi ke berbagai sumber berita. Sehingga dalam pemuatan pemberitaannya akan memenuhi asas berimbang atau cover both sides. Mekanisme baku tersebut sudah dilakukan Majalah Tempo sebelum menerbitkan berita yang berjudul, "Ada Tomy Di Tenabang?" yang diterbitkan pada Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003. Berita ini menggambarkan seolah-olah ada keterlibatan Tomy Winata di balik terbakarnya Pasar Tanah Abang. Secara khusus korban juga sudah diwawancarai dan bantahannya dengan jelas juga sudah dimuat. Dengan telah memuat bantahan dari korban dan klarifikasi dari narasumber lain, maka Majalah Tempo harus dianggap telah menghormati asas praduga tidak bersalah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undangg Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Studi kasus dari Keputusan Mahakah Agung Republik Indonesia Nomor 1608 K/PID/ 2005 ini secara filosofi, berdasarkan Pasal 3,4 dan 6 Undang-undang No. 40 Tahun 1999, posisi pers nasional telah ditempatkan sebagai pilar ke empat dalam negara demokrasi. Meskipun Undang-undang Pers belum mampu memberikan perlindungan terhadap kebebasan pers (terutama ketika terjadi delik pers karena tidak adanya ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut), dan tidak mengatur tentang penghinaan sehingga diberlakukan ketentuan KUHP. Untuk itu agar perlindungan hukum terhadap insan pers bukan sekadar impian, maka diperlukan improvisasi dalam penegakan hukum dalam delik pers dengan menciptakan yurisprudensi yang mampu menempatkan Undang-undang Pers sebagai lex specialist. Pada tahap tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terdakwa dinyatakan bersalah atas tuduhan membuat berita bohong, fitnah, dan pencemaran nama baik. Di tingkat banding, putusan tingkat pertama dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi. Namun di tingkat Kasasi akhirnya terdakwa dinyatakan bebas.

The implementation of presumption of innocence in the activities of journalistic in order to give protection to the defendants, and whether or not the coverage done by the mass media in the process of court has crossed the presumption of innocence, is the focus of this research. In the mechanism of publishing a story, the most important thing to be considered is whether or not there has been a clarification and a double check to various sources of information. That way, the publication of a story must cover both sides. This procedural mechanism has been done by Tempo before it published the article titled ‘Is there Tomy in Tenabang?' that was issued in their 3-9 March 2003 edition. This article describes as if Tomy Winata was involved in the incendiary tragedy in Pasar Tanah Abang. Specifically the victim has also been interviewed and his denial has clearly published. By publishing the denial of the victim, and the clarification from other sources, then Tempo must be acknowledged of having respected the presumption of innocence as written in Provision 5 article 1, Act Number 40, year 1999 about Press.
The case study of the Decision of Supreme Court of Rpublic of Indonesia number 1608/K/PID/ 2005 philosophically based on Provision 3,4, and 6, Act no. 40, year 1999, the position of national press has been placed as the fourth column of democrative country. Eventhough the Law of Press hasn't been able to give portection to the freedom of press - mostly when there is an offense of press because there is no criminal regulation in that law) and it doesn't regulate contempt which is the reason of the application of KUHP. That way, in order that protection of law for press activists to become more than just a mere imagination, it needs the restriction of law in offense of press by creating the jurisprudence that can place Law of Press as lex specialist.

 File Digital: 1

 Metadata

No. Panggil : S22574
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten :
Tipe Media :
Tipe Carrier :
Deskripsi Fisik : viii, 103 hlm. ; 28 cm. + Lamp.
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
S22574 14-22-55817258 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20323573