Sengketa Pertamina Vs. Karaha Bodas Company (KBC) sendiri berawal dari ditangguhkannya perjanjian/kontrak yang tertuang dalam Joint Operation Contract (JOC) dan Energy Sales Contract (ESC) yang ditandatangani oleh Pertamina, KBC dan PT. PLN (Persero). JOC dan ESC merupakan kontrak kerja sama pembangunan proyek PLTP di Karaha Bodas. Sejak tahun 1998 Indonesia dilanda krisis moneter, maka atas rekomendasi dari IMF untuk menunda proyek yang pembayarannya menggunakan US Dollar, pemerintah RI mengeluarkan Keppres No. 5/1998 yang menangguhkan proyek PLTP tersebut. Atas hal itu dan berdasarkan pasal 13 ayat (2)a JOC KBC membawa sengketa tersebut ke lembaga arbitrase Jenewa, Swiss. Majelis Arbitrase Jenewa memenangkan KBC dan menghukum Pertamina untuk membayar ganti rugi. Terhadap putusan arbitrase tersebut Pertamina mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase Jenewa Ke PN Jakarta Pusat. Dalam pertimbangan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat disebutkan bahwa upaya hukum Pertamina untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase Jenewa adalah tepat diajukan di pengadilan Indonesia dengan pertimbangan: karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dan meskipun pasal 70 UU No. 30/1999 mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional, akan tetapi karena pasal V Konvensi New York 1958 menyatakan bahwa “pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional mungkin ditolak atas permohonan salah satu pihak, hanya jika pihak yang bersangkutan membuktikan kepada instansi yang berwenang, antara lain: pengangkatan arbiter tidak diberitahukan secara layak kepada para pihak dan susunan tim arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian dalam kontrak (JOC dan ESC), para pihak tidak memiliki kapasitas berdasarkan hukum yang berlaku (sesuai dengan JOC dan ESC hukum yang berlaku adalah hukum Indonesia).” |