Analisis keputusan-keputusan Nahdlatul Ulama tentang kepemimpinan perempuan dan implementasinya di lingkungan Nahdlatul Ulama
Ahmad Wari;
Budi Setiawan, supervisor
(Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009)
|
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan Islam tradisional dan senantiasa terlibat dalam wacana keagamaan dan kenegaraan, menyikapi persoalan kepemimpinan pcrempuan dengan mengeluarkan keputusan-keputusan organisasi. Ada beberapa keputusan besar yang dikeluarkan NU terkait kepemimpinan perempuan, yaitu: (a) Keputusan Konbes Syuriah NU tahun 1957 di Surabaya yang membolehkan perempuan menjadi anggota DPR/DPRD; (b) Keputusan Rapat Dewan Partai NU tahun 1961 di Salatiga yang tidak membolehkan perempuan menjadi kepala desa, kecuali karena darurat; (c) Keputusan Munas Alim Ulama tahun 1997 di NTB, membolehkan peran publik perempuan, hingga menjadi presiden dan wakil presiden. Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan menganalisis keputusan-keputusan NU terkait kcpcmimpinan perempuan, khususnya dalam mereileksikan komitmen NU terhadap kesetaraan jender dan hak-hak perempuan Serta implementasi keputusan-keputusan organisasi tersebut di lingkungan NU. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan sebagai berikut: Pertama, Kcputusan-keputusan NU tentang kepemimpinan perempuan secara umum belum sepenuhnya merefleksikan kornitmen NU terhadap kesetaraan jender dan hak-hak perempuan yang tercantum dalam Konvensi Penghapusan Segala Bcntuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tahun 1987 dan Konvensi Hak Politik Perempuan tahun 1953, khususnya keputusan NU tahun 1961 tentang tidak bolehnya pcrcmpuan menjadi kepala desa kecuali dalam kcadaan darurat. Kedua, Keputusamkeputusan NU tentang kepemimpinan perempuan temyata tidak terimplementasi dengan baik di kalangan NU khususnya perempuan karena kurangnya sosialisasi secara struktural lewat organisasi maupun kultural melalui kyai dan jaringan pesantren. Pada hakikatnya keputusan-keputusan itu diperlukan untuk melegitimasi kiprah kepemimpinan perempuan NU. Akan tetapi latar belakang keluamya keputusan-keputusan tersebut yang disebabkan oleh faktor sosial politik berakibat pada kurang optimalnya keputusan untuk jangka panjang. Ambivalensi NU dalam kcputusannya tentang kepemimpinan perempuan nampaknya discbabkan oleh oleh konteks sosial politik pada waktu keputusan tcrscbut dikeluarkan. Keriga, mnmculnya keputusan yang progresif di tahun 1997 tentang peran publik percmpuan dan Qarar tahun 2004 yang menekankan aspek kompctensi capres/cawapres menunjukkan semakin terbukanya paradigma para ulama menuju sikap yang lebih obyektif dan kritis dalam persoalan aktual kemasyarakatan, kenegaraan dan kebangsaan. Nahdlatul Ulama as a traditional religious organization being continuously involved in religious and national discourses has responded to women?s leadership issues by issuing organizational decisions. Major decisions related to women?s leadership that have been passed are: (a) Decision of the Major Conference of Syuriah NU in 1957 allowing women to become parliament members; (b) Decision of Board Meeting of the NU Party in 1961 prohibiting women to become village heads except in emergency; (c) Decision of the Alim Ularna National Delibcration in 1997 allowing women?s public roles till the posts of president and vice president. This study aims to document and analyze NU decisions relating to women?s leadership, particularly as reflection of NU?s commitment to gender equality and women?s rights and their implementation in the NU circle. The study has identified several findings: First, that the decisions under study are not fully reflective of NU?s commitment to gender equality and women's rights as contained in the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) 1987 and the Convention on Women?s Political Rights 1953, particularly NU decision of 1961 which bans women from becoming village heads except in emergency. Second the NU decisions on women?s leadership are not well implemented because of lack of socialization both structurally through the organization and culturally through kyais and the pesantren network. The decisions are basically needed to legitimize NU women's public roles. However, because of the socio-political reason underlying their passing, the decisions do not have long-term impacts. NU ambivalence in its decisions regarding women's leadership appears to have been influenced by the socio-political contexts. Third, the emergence of a progressive decision in 1997 on women?s public role and Qarar in 2004 emphasizing competences of presidential and vice presidential candidates have indicated NU ulama?s more open paradigms towards more objective and critical attitudes in responding to actual problems ofthe society and nation. |
T 32083-Ahmad Wari.pdf :: Unduh
|
No. Panggil : | T32083 |
Entri utama-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama orang : | |
Penerbitan : | Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009 |
Program Studi : |
Bahasa : | ind |
Sumber Pengatalogan : | |
Tipe Konten : | |
Tipe Media : | |
Tipe Carrier : | |
Deskripsi Fisik : | xi, 98 hlm. : ill. ; 28 cm. + Lamp. |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI, Lantai 3 |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
T32083 | 15-23-02357486 | TERSEDIA |
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20332619 |