Kebebasan berkontrak yang merupakan "roh" dan "napas" sebuah kontrak atau perjanjian secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak pihakpihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang. Dengan demikian, diharapkan akan muncul kontrak yang adil dan seimbang pula bagi para pihak. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan yang bersifat yuridisnormatif. Hasil penelitian menyarankan bahwa ada sejumlah pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupaun putusan pengadilan. Dalam sistem hukum modern dewasa ini, kebebasan berkontrak di atas tidak hanya dibatasi oleh larangan-larangan yang diciptakan peraturan perundang-undangan (statutory prohibition), tetapi juga oleh extra legal standard. Extra legal standard tersebut merupakan standar yang berkaitan dengan agama, moral, dan keadilan. Dengan adanya standar ini, maka kontrak tidak dapat lagi hanya dipandang sebagai ex nihilo, hasil dari kesepakatan atau kehendak bebas para pihak untuk saling mengikatkan diri, tetapi kontrak harus dikaitkan dengan prinsip-prinsip agama, moral dan keadilan. Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang tidak dapat ditawar dan mutlak harus dipenuhi, karena itu dalam diri para pihak yang berkontrak harus terdapat pemahaman dan penghormatan terhadap hak masing-masing. Oleh karena itu, dapat dipahami perkembangan asas kebebasan berkontrak yang cenderung mengarah pada ketidakseimbangan para pihak kemudian dibatasi oleh berbagai ketentuan yang bersifat memaksa agar pertukaran hak dan kewajiban dapat berlangsung secara proporsional. Hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, agar jangan sampai pelaksanaan itu melanggar keadilan dan kepatutan. Selain itu, Hakim juga berkuasa untuk menyimpangi daripada isi perjanjian menurut susunan kata-katanya, manakala pelaksanaan yang demikian itu bertentangan dengan rasa keadilan, hal ini berdasarkan Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata. Freedom contract that is "breath" and "spirit" a contract or agreement in an implicit manner provides guidance whereby the contracting parties are assumed to have a balanced position. Thus, the contract is fair and balanced for the parties. The method used in this research is a normative-juridical approach. Research results suggest that there are a number of restrictions against freedom of contract in a number of a legal system. The restriction of freedom of contract should be conducted through legislation of judicial decision. In the modern legal system, this adult freedom contract mentioned above is not only limited by restrictions created in the legislation (statutory offense prohibition), but also by extra legal standard. This legal standard one standards related to religion morality, and justice. With the existence of this standard, then contract. Can no longer be viewed ex nihilo. Contract is not only the product of content and free will of the parties, but it has to be associated with religions, morality, and the just principles. Balance parties in of contract is the basic concept that indespensible and absolute must be fulfilled, therefore there will be of mutual understanding and respect between the parties for their rights. Hence, it is understood the development of the principle of freedom of contracts that are likely to lead to an imbalance of the Parties subsequently limited by a variety of provisions that are forced to exchange rights and obligations can take place proportionally. Judges are given the power to oversee the implementation of an agreement, in order the prevent violation of fairness and propriety. In addition, the judge also rule against the content of the agreement according to the arrangement of the words, should the implementation that is contrary to the sense of Justice based on Article 1338 BW paragraph (3). |