UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya perkawinan menganut asas monogami terbuka, dengan maksud masih diperbolehkan adanya perkawinan poligami apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya. Menurut agama Islam diperbolehkan berpoligami dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Walaupun sudah ada peraturan yang mengatur poligami namun masih saja terdapat poligami yang tidak memenuhi syarat, salah satunya karena tidak adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri terdahulu. Terlihat dengan adanya putusan Pengadilan Agama Depok No.324/Pdt.G/2006/PA.Dpk tentang Pembatalan Perkawinan Poligami. Permasalahan yang timbul dalam penulisan ini adalah bagaimana pengaturan, akibat dan upaya yang dilakukan dari pembatalan perkawinan poligami ditinjau dari Hukum Islam, UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, serta analisis terhadap putusan Pengadilan Agama Depok No.324/Pdt.G/PA.Dpk.Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan didukung dengan wawancara kepada narasumber dan tipologi penelitiannya deskriptif analitis. Dari penelitian penulis didapatkan bahwa pengaturan mengenai pembatalan perkawinan poligami ditinjau dari Hukum Islam diatur dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 22,23,24, sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 22, dan Pasal 24. Menurut KHI diatur dalam Pasal 71 huruf a. Adanya keputusan pembatalan perkawinan dari pengadilan menimbulkan akibat hukum terhadap status/kedudukan suami isteri, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, harta bersama, dan terhadap pihak ketiga. Kemudian upaya hukum yang dapat dilakukan oleh isteri/isteri-isteri mengajukan pembatalan perkawinan ke pengadilan. Putusan Pengadilan Agama Depok No.324/Pdt.G/2006/PA.Dpk telah sesuai dengan Hukum Islam, UU No. 1 Tahun 1974, dan KHI. Regulation No. 1 of 1974 on Marriage essentially adheres to the principle of open monogamy marriages, with the intention of the allowance of polygamy marriages if desired by the individual in question because the law and religion from those individuals allow it. According to the Islamic religion, polygamy is allowed if the necessary terms are fulfilled. Even though there isa regulation that governs polygamy, but there are still polygamous marriages that do not meet the requirement, one of the reasons being is that there are absent of consent from the current legal wife. With the Decision of Religious Court of Depok No. 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk on Aborted Nuptials, problems arising from this writing are how are the cancelation polygamous marriages regulated, affected and affronted from the perspective of Islamic Law, Regulation No. 1 of Islamic laws and then analysis of the Decision of Religious Court of Depok No. 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk.The writer uses the method of normative judicial research along with interviews from sources and the typology of writing being analytical descriptive. From this research, the writer concludes that the law regarding cancelation of polygamous marriages from the perspective of Islamic law within the al-Qur’an An-Nisa Letter verse 22,23,24, while on Regulation No. 1 of 1974 is regulated in Article 1 verse 2, Article 2, Article 5, Article 22 and Article 24. According to Compilation of Islamic Law in Article 71 (a), there are decisions on cancellation by courts that gives legal affect towards the status of the bride and groom in question, their sons and/or daughters from the marriage, their shared wealth, and towards the third party. Consequently, the remedy that can be obtained by the wife/wives is to cancel the marriage in front of the court. The Decision of Religious Court of Depok No. 324/Pdt.G/2006/PA.Dpk is within the scope of Islamic Law, Regulation No. 1 of 1974 and Compilation of Islamic Law. |