Deskripsi Lengkap
Bahasa : | ind |
Sumber Pengatalogan : | LibUI ind rda |
Tipe Konten : | text (rdacontent) |
Tipe Media : | unmediated (rdamedia); computer (rdamedia) |
Tipe Carrier : | volume (rdacarrier); online resource (rdacarrier) |
Deskripsi Fisik : | xi, 72 pages ; 28 cm + appendix |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI, Lantai 3 |
- Ketersediaan
- File Digital: 1
- Ulasan
- Sampul
- Abstrak
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
T37816 | TERSEDIA |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20369674 |
Abstrak
ABSTRAK
Borderline Intellectual Functioning adalah salah satu kondisi klinis dengan karakterisitik skor IQ berada pada kisaran 71 sampai dengan 84 (DSM-IV-TR, 2000). Dalam hubungan anak dengan lingkungan sosial terutama dengan teman sebaya, anak dengan taraf kecerdasan borderline dapat mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan pergaulan karena cara pandang yang naif atau kecenderungan menarik diri. Agar anak mampu menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya terutama dengan teman sebaya, maka mereka memerlukan keterampilan sosial yang cukup. Keterampilan sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara tertentu dalam suatu konteks sosial yang dapat diterima dan dihargai secara sosial serta pada saat yang sama saling menguntungkan (Combs & Slaby dalam Cartledge & Milbum, 1995). Perkembangan keterampilan sosial sendiri adalah suatu proses yang terus beijalan, sesuatu yang dipelajari serta tidak diperoleh begitu saja. Keterampilan sosial dapat dilatih melalui pelatihan keterampilan sosial yaitu instruksi yang dilaksanakan dalam area perilaku untuk meningkatkan interaksi positif dengan orang lain (Mclntyre, 2001). Menurut Cartledge dan Milbum (1995), salah satu metode dalam pelatihan keterampilan sosial adalah melalui social modeling yaitu suatu proses yang menghasilkan model perilaku sosial yang memungkinkan seseorang belajar melalui observasi dan imitasi. Menurut LaGreca (dalam Cartledge & Milbum. 1995) perilaku menyapa adalah salah satu area komunikasi yang memberikan kontribusi dalam hubungan dengan teman sebaya yang positif. Salah satu komponennya adalah perilaku tersenyum ketika bertemu teman (Cartledge dan Milbum, 1995). Pelatihan dilaksanakan selama lima sesi. Pada sesi satu dilakukan kegiatan identifikasi perilaku tersenyum sebagai komponen dalam menyapa teman melalui penyajian model berdasarkan lokoh dalam buku cerita. Pada sesi dua merupakan kesempatan melatih perilaku tersenyum (skiII performance) melalui penyajian model dengan menggunakan boneka dan role play. Sementara sesi tiga hingga sesi lima merupakan sesi melatih perilaku tersenyum di setting sekolah. Berdasarkan hasil pelaksanaan pelatihan, tampak bahwa pelatihan keterampilan sosial pada anak dengan taraf kecerdasan borderline dengan menggunakan metode social modeling dapat melatih perilaku tersenyum sebagai komponen perilaku menyapa teman. Subyek tampak mampu memperlihatkan perilaku tersenyum dalam kegiatan pelatihan walau masih memerlukan pengarahan dan bimbingan. Untuk memperbaiki rancangan pelatihan di kemudian hari, diperlukan assessment keterampilan sosial yang mendalam sebelum merancang program. Selain itu jenis kegiatan pelatihan sebaiknya bersifat konkrit, terstruktur dan menyenangkan bagi anak. Latihan perilaku juga sebaiknya dilakukan pada beragam situasi sosial sehingga memudahkan generalisasi perilaku.
Borderline Intellectual Functioning adalah salah satu kondisi klinis dengan karakterisitik skor IQ berada pada kisaran 71 sampai dengan 84 (DSM-IV-TR, 2000). Dalam hubungan anak dengan lingkungan sosial terutama dengan teman sebaya, anak dengan taraf kecerdasan borderline dapat mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan pergaulan karena cara pandang yang naif atau kecenderungan menarik diri. Agar anak mampu menjalin hubungan dengan lingkungan sosialnya terutama dengan teman sebaya, maka mereka memerlukan keterampilan sosial yang cukup. Keterampilan sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara tertentu dalam suatu konteks sosial yang dapat diterima dan dihargai secara sosial serta pada saat yang sama saling menguntungkan (Combs & Slaby dalam Cartledge & Milbum, 1995). Perkembangan keterampilan sosial sendiri adalah suatu proses yang terus beijalan, sesuatu yang dipelajari serta tidak diperoleh begitu saja. Keterampilan sosial dapat dilatih melalui pelatihan keterampilan sosial yaitu instruksi yang dilaksanakan dalam area perilaku untuk meningkatkan interaksi positif dengan orang lain (Mclntyre, 2001). Menurut Cartledge dan Milbum (1995), salah satu metode dalam pelatihan keterampilan sosial adalah melalui social modeling yaitu suatu proses yang menghasilkan model perilaku sosial yang memungkinkan seseorang belajar melalui observasi dan imitasi. Menurut LaGreca (dalam Cartledge & Milbum. 1995) perilaku menyapa adalah salah satu area komunikasi yang memberikan kontribusi dalam hubungan dengan teman sebaya yang positif. Salah satu komponennya adalah perilaku tersenyum ketika bertemu teman (Cartledge dan Milbum, 1995). Pelatihan dilaksanakan selama lima sesi. Pada sesi satu dilakukan kegiatan identifikasi perilaku tersenyum sebagai komponen dalam menyapa teman melalui penyajian model berdasarkan lokoh dalam buku cerita. Pada sesi dua merupakan kesempatan melatih perilaku tersenyum (skiII performance) melalui penyajian model dengan menggunakan boneka dan role play. Sementara sesi tiga hingga sesi lima merupakan sesi melatih perilaku tersenyum di setting sekolah. Berdasarkan hasil pelaksanaan pelatihan, tampak bahwa pelatihan keterampilan sosial pada anak dengan taraf kecerdasan borderline dengan menggunakan metode social modeling dapat melatih perilaku tersenyum sebagai komponen perilaku menyapa teman. Subyek tampak mampu memperlihatkan perilaku tersenyum dalam kegiatan pelatihan walau masih memerlukan pengarahan dan bimbingan. Untuk memperbaiki rancangan pelatihan di kemudian hari, diperlukan assessment keterampilan sosial yang mendalam sebelum merancang program. Selain itu jenis kegiatan pelatihan sebaiknya bersifat konkrit, terstruktur dan menyenangkan bagi anak. Latihan perilaku juga sebaiknya dilakukan pada beragam situasi sosial sehingga memudahkan generalisasi perilaku.