ABSTRAK Studi ini berangkat dari pemahaman akan pentingnya tindakan memaafkanorang lain yang jarang dipilih sebagai respon . Maka fenomena adanya subyek yangmampu memaafkan secara berkali-kali amatlah penting dan menarik.Tujuan penelitian adalah untuk menggali proses, alasan, kondisi dan manfaatmemaafkan orang lain, pada subyek yang memiliki pengalaman berkali-kalimemaafkan orang lain. Penelitian merupakan penelitian kualitatif berupa studi kasus,menggunakan metode wawancara mendalam serta observasi. Responden penelitian 2orang, yakni Asep (bukan nama sebenarnya) yang memiliki pengalaman berkali-kalimemaafkan orang lain (pelanggar) yang berbeda, dan Yanti (bukan nama sebenarnya),memiliki pengalaman berkali-kali memaafkan orang lain (pelanggar) yang sama.Hasil studi menunjukkan bahwa subyek merasa mendapatkan manfaat daritindakan memaafkan orang lain seperti kelegaan karena melakukan apa yangdianggap benar, mendapatkan kemungkinan untuk rekonsiliasi dengan pelanggar, danmengalami kebebasan dari perasaan sakit hati serta kemarahan. Mereka memilikialasan tertentu dalam tindakannya. Pemahaman bahwa memaafkan orang lain adalahsuatu kewajiban moral, disamping rasa cinta pada pelanggar, rupakan alasan yangkuat pada diri mereka sehingga mampu memaafkan secara berkali-kali. Terdapatbanyak faktor yang mempengaruhi subyek dalam memaafkan secara berkali-kali, baikmembantu atau pun menghambat, baik internal atau pun eksternal. Dalam menjalaniproses memaafkan orang lain, ada pola khas yang dikembangkan oleh subyek, dimanasubyek mendapatkan sumber penting yang membantunya dalam memaafkan oranglain secara berkali-kali. Sumber tersebut bisa merupakan ‘bekal’ yang sudah ada padasubyek sebelum pelanggaran terjadi, bisa juga merupakan ‘bekal’ dari lingkungan,yang diterima subyek sesudah mengalami luka akibat pelanggaran.Berdasarkan hasil analisa dan kesimpulan, peneliti memunculkan thesa:1. Terdapat kondisi yang kondusif dalam tindakan memaafkan orang lainKondisi tersebut bisa bersifat internal seperti kemampuan berfikir holistik, dayaempati dan internalisasi berbagai nilai yang mendukung tindakan memaafkan. Bisajuga bersifat eksternal seperti dukungan sosial.2. Terdapat kondisi yang tidak kondusif dalam tindakan memaafkan orang lainKondisi ini bisa bersifat internal seperti kecenderungan untuk lekat kepada luka batin,bisa juga bersifat eksternal seperti membudayanya nilai yang menghambat tindakanmemaafkan seperti nilai balas dendam.Dalam penelitian ini terdapat beberapa temuan menarik, yang sepanjangpemahaman penulis belum tercantum atau pun belum ditekankan oleh teorisebelumnya.Pertama, terdapat perbedaan antara teori dan hasil studi kasus dalam halketerbatasan tindakan memaafkan. Misalnya dalam literatur dikatakan bahwa kualitashubungan sesudah tindakan memaafkan akan menurun (Flanigan,1998), namunresponden menyatakan bahwa hubungan bisa pulih seperti semula, bahkan meningkat.Jadi berdasarkan studi kasus, peneliti menyatakan diri berseberangan denganpandangan mengenai keterbatasan tindakan memaafkan.Kedua, luka batin ternyata bisa berasal dari pelanggaran tidak langsung,karena melihat dan ikut merasakan penderitaan orang yang disayangi. Pemahaman inimemperkaya teori yang ada.Ketiga, Nilai budaya bisa berperan dalam upaya memaafkan orang lain. Nilaiitu bisa membantu korban sejak mengalami pelanggaran, merasakan luka hingga saatberupaya memaafkan pelanggar.Keempat, dalam proses memaafkan, bisa teijadi langkah melingkar dimanasubyek kembali ke tahap sebelumnya dalam proses memaafkan. Pada subyek yangmemiliki pengalaman memaafkan orang lain secara berkali-kali ini, terdapat kemauandan kemampuan untuk kembali menjalani proses tersebut, hingga tuntas.Kelima, terdapat keterkaitan pengalaman memaafkan yang satu denganpengalaman memaafkan yang lain . Keterkaitan itu bisa bersifat negatif ataumenghambat, bisa juga bersikap mendorong. Bila suatu pengalaman memaafkanmemberi reward bagi subyek, maka pengalaman memaafkan ini membantu subyekuntuk menjalani lagi tindak memaafkan di waktu selanjutnya, dan sebaliknya.Keenam, alasan untuk memaafkan orang lain bisa bergeser. Misalnya, semulakarena keterpaksaan dan ketergantungan, namun pada waktu setelahnya karenakehendak bebas dalam melakukan kewajiban moral, karena rasa cinta pada pelanggar.Ketujuh, pada pelanggaran yang sama, respon korban bisa berbeda beda.Maka peneliti memandang bahwa faktor-faktor yang sudah ada sebelum teijadinyasalah perlakukan, yang mempengaruhi korban dalam tindakan memaafkan orang lain(“bekal memaafkan), amatlahlah berperan disini. Bekal itu membuat subyek lebih siapdalam menerima dan mengolah pelanggaran, dan mengarahkan diri untuk melakukantindak memaafkan.Kedelapan, terdapat strategi yang bisa dikembangkan individu untukmemaafkan orang lain. Misalnya saja dengan merendahkan harapan terhadappelanggar, yang membantu korban agar tidak mengalami kekecewaan terlalu besaratas tindakan yang dilakukan pelanggar.Kesembilan, meski tindakan memaafkan bukan menjadi respon awal yangditunjukkan korban, ternyata tindakan itu bisa dipilih dan dijalani korban setelahnya.Artinya, tindakan memaafkan bisa diajarkan serta dalam konteks lebih luas, bisadibudayakan.Kesepuluh, untuk menciptakan budaya memaafkan, diperlukan kondisi yangmendukung, misalnya tersedianya nilai yang menguatkan tindakan memaafkan, sertaupaya membentuk individu yang terbuka terhadap berbagai nilai tersebut.Penelitian juga mencantumkan keterbatasan dan memunculkan saranpenelitian lanjutan. |