ABSTRAK Pasca Perang Kemerdekaan Indonesia terjadi suatu perubahan pemerintahandaerah yang diberi hak otonom. Pada masa Perang Kemerdekaan dengan pemerintahanNIT otonomi daerah di Sulawesi Selatan dilaksanakan dalam konteks negara federasi,sedangkan pasca revolusi otonomi daerah dilaksanakan dalam konteks negara kesatuan.Studi otonomi daerah difokuskan pada hambatan-hambatan yang menyebabkanpenyelenggaraan pemerintahan daerah yang otonom terkendala. Suasana kebebasandaerah disatu sisi dan kontrol serta pengendalian pusat di sisi lain, begitupula denganstruktur sosial berhadapan dengan struktur pemerintah. Kemudian, kelompok unitarispada satu sisi dan di sisi lain kelompok federalis, saling berinterasi bekerjasama danterkadang pula bersaing dengan wadah kepentingan, etnik dan idiologi.Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatanstrukturis. Tipe eksplanatif dengan konteks penelitian transisi. Pengumpulan datamenggunakan dokumen arsip, dokumen media cetak dan wawancara.Temuan-temuan yang diperoleh dari studi ini diuraikan berikut. Pertama, pemerintah Sulawesi Selaian dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan memilikikebebasan yang terbalas dalam berkreasi, merencanakan, mengambil keputusan,melaksanakan keputusan itu. Kebebasan yang terbatas itu dituangkan dalam peraturanperundang-undangan.Kedua, pemerintah Sulawesi Selatan memperoleh 7 urusan sebagai hakotonominya disamping hak dasar yang telah dimiliki. Otonomi diletakkan pada 3 level,yaitu Sulawesi Selatan, Swatantra/Swapraja dan desa. Pada level ketiga hanya bersifatuji coba, kemudian setelah berlangsung beberapa tahun lalu dicabut dan dihentikan.Ketiga, Pemerintahan daerah pada level swapraja dijalankan berdasarkan tradisiyang mengandung azas demokrasi. Swapraja mewarisi tradisi pemerintahan dalamkonteks federasi faliti dan monarki kostitusi. Undang-Undang sebagai dasarpenyelenggaraan negara disusun berdasarkan perjanjian antara raja dan wakil-wakil dari paliti (negara bagian). Di dalamnya diatur masalah hak-kewajiban yang didasarkanpada perpaduan antara konsep to manurung dan ajaran Islam.Keempat, kendala-kendala yang menghambat penyelenggaraan administrasipemerintahan dan pembangunan saling berkait satu sama lain. Kendala-kendala ituadalah belum adanya persepsi yang sama diantara penyelenggara negara, swapraja danajjoareng sebagai pusat kekuasaan dan panutan pengaruhnya tak tergantikan, dominasipemerintahan militer atas sipil, sentralisasi pengelolaan perdagangan kopra, sentralisasipengelolaan pajak, dan eskalasi politik yang tinggi.Seeara teoritis, Studi ini menunjukkan relevansi terhadap beberapateori yang digunakan dan mengkonstruksi teori baru tentang demokrasi di daerahmasyarakat Sulawesi Selatan. Hak, kewajiban dan kebebasan individu, kelompok,swasta dan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganyasendiri, mempunyai relevansi dengan teori yang dikemukakan oleh Arthur Mass,Sarundajang dan Ndraha. Teori yang dikemukakan oleh Huntington, Mohtar Mas?oeddan Maswadi Rauf tentang keampuhan gagasan tentang kemajuan (the idea ofprogress). Kemajuan yang diyakini akan mendorong munculnya demokrasi.Syaratnya adalah pengembangan kekuatan masyarakat, terutama melaluipembentukan sistem kepartaian yang bertanggung jawab kepada rakyat. Kemudiankebebasan individu dan kelompok serta daerah untuk mengembangkan kemajuandalam rangka kemandirian rnenunjukkan relevansinya. Parsons dan Geertzkebudayaan sebagai sistem simbol-simbol. Dengan sistem itu, manusia memberimakna pada pengalamannya sendiri. Pada taraf tertentu, hal ini sesungguhnyamenyangkut semua negara baru, yang ccnderung menjadi tumpukau tradisi-tradisiyang bersaing yang kebetulan terkumpul menjadi kerangka-kerangka kerja politisyang lebih direka daripada secara organis memeperkembangkan peradaban-peradaban, teori nilai budaya ini relevan dengan nilai budaya darah putih dandarah merah masyarakat Sulawesi Selatan. Kemudian hubungan patronase masyarakatBugis Makassar dalam ajjoareng-joa sangat relevan untuk memahami pola hubunganmasyarakat Bugis-Makassar. Keempat, Teori hubungan patronase .T.C. Scott.Suntherland dan Darmawan Rahman Mas?0d dalam pendekatan sejarah conflict andaccomodation dalam memahami konflik dan integrasi kelompok-kelompok kepentingan, budaya, sosial dan politik yang saling berhadapan tetapi juga salingbersama-sama relevan. Juga konstruksi teori demokrasi melihat bagaiman tradisi-tradisi berisi azas demokrasi. Orang-orang Bugis Makassar menjalankan demokrasisebagai tradisi di dalam pemerintahan dan sosial dapat dilihat dalam: (1) sistemperwakilan dan pemuusyawaratan dalam pengambilan keputusan (2) keputusan yangtertinggal berada di tangan rakyat. Keputusan Raja dapat dibatalkan olehdewan adat, keputusan dewan adat dapat dibatalkan oleh lembaga yang lebih rendahyakni anang/tokoh-tokoh masyarakat, dan keputusan tokoh-tokoh masyarakat dapatdibatalkan oleh rakyat. Kedua, Di dalam tradisi pemerintahan dan sosial orang Bugis-Makassar kelompok lemah selalu diberi perlindungan bahkan di Luwu diberi kursi didalam parlemen. Ketiga, orang-orang Bugis-makassar harus bersifat jujur, benar, adildan berani di dalam memimpin dan kehidupan keseharian. Keempat, orang-orangBugis-Makassar harus saling siporanmu, merasa saling membutuhkan dan salingmemberi manfaat meskipun yang bersangkutan memiliki sejumlah keterbatasan. Jadiorang Bugis-makassar selalu menghargai orang lain. |