Skripsi ini membahas mengenai bagaimana pertanggung jawaban pidana dari seorang pelaku tindak pidana yang telah mengalami praktik cuci otak (brainwash) sebelum melakukan tindak pidana. Penulis menjabarkan hal tersebut dengan menjelaskan bagaimana proses cuci otak (brainwash) terjadi, khususnya pada perekrutan anggota terorisme dan NII, lalu mengaitkan proses tersebut dengan ajaran kesalahan, untuk dapat menentukan apakah terdapat kesalahan dalam pelaku tindak pidana yang mengalami praktik cuci otak (brainwash), sehingga berdasarkan asas geen straf zonder schuld, pelaku tersebut dapat dimintai pertangggung jawaban pidana. Penulis juga menjabarkan bagaimana peradilan pidana di Indonesia dan Amerika Serikat menyikapi soal cuci otak (brainwash) yang muncul dalam persidangan. Hasil dari skripsi ini adalah pelaku tindak pidana yang sebelumnya mengalami praktik cuci otak (brainwash) memiliki kesalahan dalam melakukan hal tersebut, sehingga dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Cuci otak (brainwash) ini juga tidak diterima sebagai dasar untuk menghapus pertanggung jawaban pidana, baik dalam peradilan pidana Indonesia, maupun peradilan pidana Amerika Serikat, dikarenakan pelaku tetap memiliki kesadaran dalam melakukan tindak pidana serta melakukan hal tersebut berdasarkan free will yang ia miliki. Saran yang dapat penulis berikan adalah perlunya pendefinisian yang tegas mengenai apa yang dimaksud dengan cuci otak (brainwash) mengingat masih banyak pihak yang mendifinisikan cuci otak (brainwash) secara salah, seperti menyamakan cuci otak (brainwash) dengan indoktrinasi, padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Kemudian, penulis juga menyarankan adanya sosialisasi, khususnya kepada aparat penegak hukum mengenai pertanggung jawaban pidana dari pelaku tindak pidana yang mengalami praktik cuci otak (braiwnash) agar tidak terjadinya kesalahan dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap pelaku tersebut. This thesis discusses about how the criminal responsibility of a perpetrator who had suffered brainwashing practices before committing a crime. The author describes this by explaining how the brainwashing process occurs, particularly in the recruitment of members of terrorist and NII, then associate that process with the doctrine of fault, to be able to determine if there is an fault in the criminal suffered brainwashing practices, so based on the principle of geen straf zonder schuld, the perpetrators be held criminal responsibility. The author also describes how criminal justice in Indonesia and the United States address the problem of brainwashing that appear in the proceedings. The results of this thesis are perpetrators who previously suffered brain washing practices have a fault in doing so, so it can be held responsible criminal. Brainwashing is also not acceptable as a basis for removing criminal responsibility, both in Indonesian criminal justice and the United States criminal justice, because the perpetrators remain conscious in committing a crime and do so by free will which he had. The advice that the author can give is the need for a clear definition of what is meant by brainwashing, since there are many parties that defines brainwashing are wrong, such as equating brainwashing with indoctrination, even though both are different things. Then, the authors also recommend the existence of socialization, especially for law enforcement officers regarding criminal responsibility of perpetrators who suffered brain washing practices, to prevent the occurrence of errors in imposing the punishment of the perpetrators. |