Penyidik KPK dapat melakukan penyitaan tanpa surat izin ketua pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, namun ketentuan ini tidak sesuai dengan aturan umum yang diatur dalam KUHAP. Dalam penulisan tesis ini terdapat tiga pertanyaan penelitian, yaitu: Mengapa KPK diberikan kewenangan untuk melakukan penyitaan tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri? Bagaimanakah batasan terhadap kewenangan penyidik KPK untuk melakukan penyitaan aset tersangka tindak pidana korupsi? dan Apa akibat hukumnya jika penyidik KPK melampaui batasan kewenangan ketika melakukan penyitaan aset tersangka tindak pidana korupsi? Penelitian ini merupakan penelitian yang menelaah dan menganalisis data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, literatur, artikel, jurnal, dan sebagainya. Sebagai pendukung penelitian ini, maka digunakan juga data primer yang didapatkan melalui wawancara dengan akademisi dan praktisi hukum. Hasil analisa tersebut ditarik kesimpulan secara induktif. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa dasar pemikiran dari pengaturan penyitaan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 berdasarkan 2 (dua) alasan, yakni: 1. Alasan Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang luar biasa, 2. Alasan tentang pemberantasan korupsi yang harus efektif. Syarat sebagai batasan penyidik KPK untuk melakukan penyitaan harus disertai surat perintah penyidikan untuk melakukan penyitaan, benda sitaan harus diseleksi kembali dalam 2 tahap (penyidikan dan prapenuntutan) sebagai pelaksanaan dari prinsip kehati-hatian oleh penyidik KPK. Kedua syarat tersebut dinilai masih memiliki kekurangan sehingga ketentuan mengenai kewenangan penyitaan oleh penyidik KPK harus dilengkapi dengan ketentuan yang jelas dan tegas. Dengan demikian, perlu adanya SOP (Standard Operational Procedure) untuk melengkapi kekurangan dari ketentuan yang telah ada. Jika batasan tersebut dilanggar, maka KPK memberikan sanksi berdasarkan tingkat pelanggarannya yang didasarkan pada temuan pengawas internal. Akan tetapi, temuan pelanggaran tersebut sulit diketahui oleh pengawas internal karena tidak adanya kewajiban penyidik KPK untuk menyerahkan berita acara/ resume penyitaan kepada pengawas internal. Oleh karena itu, KPK agar mewajibkan penyidik KPK untuk menyerahkan berita acara/resume singkat penyitaan kepada pengawas internal dan tetap menjaga profesionalitas, kredibilitas, integritas, dan kesadaran hukum yang tinggi sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap hak tersangka. Seizure By Investigator of Indonesian Corruption Eradication Commission can be done without the permission of the Chairman of the District Court, as stipulated in The Law No. 30 of 2002, but this provision is not in accordance with the general rules set out in the Criminal Procedure Code (KUHAP). Therefore, the implementation poses problems. In this thesis, There are three research questions, namely: Why the Commission is given the authority to expropriate without the permission of the Chairman of the District Court? How limits The Authority of The Investigators of Indonesian Corruption Eradication Commission When The Seizure of Assets suspected of Corruption? And what legal consequences in terms of Indonesian Corruption Eradication Commission?s Investigator transcend The limits of Authority when The seizure of Assets suspected of Corruption? This research is the study and analyze secondary data in the form of legislation, literature, articles, journal, and so on. As a supporter of this research, it is also used primary data obtained through interviews with academics and legal practitioners. The results of this analysis conclude inductively. The results of this study indicate that the rationale of seizure provision in Law No. 30 of 2002 considered on the nature of the crime of corruption by 2 reason: 1. Reason of law enforcement which is use extraordinary methods. 2. Reason on Eradication Corruption should effectively. Requirement as a limit for Indonesian Corruption Eradication Commission?s Investigator to conduct a seizure must be accompanied by an investigation warrant for the seizure, the seized objects should be selected again in 2 phases (investigation and Pre-Prosecution) as the implementation of the prudential principle by Indonesian Corruption Eradication Commission's Investigator. Both of these requirement are still considered to have a lack so that the provisions of seizure powers by Indonesian Corruption Eradication Commission?s Investigator must be equipped with a clear and unequivocal. Thus, the need for SOP (Standard Operational Procedure) to complement the lack of the existing provisions. If these limits are violated, investigator given sanction by the offense level as seen from the findings of an Internal Controller. However, the findings are difficult to detect violations by Internal Controller because are Indonesian Corruption Eradication Commission's Investigator are not required to submit an official report/resume seizure to an Internal Controller. Therefore, the Commission requires that Indonesian Corruption Eradication Commission?s investigator to submit an official report/resume seizure to Internal Controller and still maintain professionalism, credibility, integrity, and high awareness of the law as an effort to protect the rights of suspects. |