Spying atau spionase telah menjadi pembahasan studi Hubungan Internasional sejak Perang Dingin. Jika terungkap, spionase tak jarang menimbulkan ketegangan yang serius dan bahkan konflik antar-negara. Seiring perkembangan teknologi, isu spionase tidak lagi hanya mencakup level Negara; individu dan hampir semua lapisan masyarakat berperan. Sejak Edward J. Snowden ikut berpartisipasi dalam public intelligent, banyak negara-negara semakin waspada. Pembocoran berita tentang Australia memata-matai pemimpin tertinggi Indonesia, Presiden Yudhoyono melalui Wikileaks oleh Snowden telah menyebabkan ketegangan hubungan bilateral kedua negara. Sampai saat ini, belum ada norma/hukum internasional mengikat yang mengatur perilaku spionase. Oleh karena itu, negara-negara menentukan regulasi berdasarkan negoisasi dan kesepakatan di antara mereka secara bilateral atau multilateral. Pada titik ini, peran pemimpin bangsa sangatlah penting. Pemimpin atau presiden memiliki pilihan apakah akan menentukan langkah-langkah sanksi dan membebankan hubungan bilateral atau damai menyelesaikan ketegangan. Tulisan ini berpusat pada idiosyncrasy atau faktor individu dari Presiden Yudhoyono dalam mempengaruhi proses penyelesaian/resolusi ketegangan antara Indonesia dan Australia dengan menganalisis tolerabilitas spionase internasional, konsep kekuasaan presiden, idiosyncratic factors dalam analisis kebijakan luar negeri, argumen dari kedua negara dan langkah Presiden Yudhoyono dalam proses penyelesaian. Kerangka waktu yang diambil adalah dari November 2013-Agustus 2014. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk mengolah data, menganalisis dan menjelaskan analisis dalam kerangka narasi yang didukung oleh beberapa gambar dan diagram. Penelitian ini bertujuan untuk menyimpulkan bahwa faktor individual (idiosyncrasy) yang dimiliki pemimpin politik berperan sangat penting dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. |