Perkawinan adat Bali pada umumnya menerapkan sistem perkawinan patrilinial. Dalam hubungan kekerabatannya, pihak laki-laki membawa peranan yang lebih menonjol dibandingkan dari pihak perempuan. Laki-laki sebagai pihak "kepurusa" merupakan sentral pemegang tanggung jawab terhadap segala bentuk aturan adat yang terdapat di pakraman atau wilayah tempat tinggalnya (desa adat). Sentralitas dan absolutnya peran laki-laki baik secara sosial (public) dan juga secara religious menyebabkan kedudukan dan peran kepurusa hampir tidak dapat digantikan oleh perempuan sebagai pradana. Konsep perkawinan adat Bali yang demikian ini membawa konsekuensi logis terhadap psikologis dari peran perempuan secara genderis. Hal inilah memicu adanya pola-pola alternative untuk berusaha menempatkan status perempuan agar dalam perubahan jaman, perempuan juga dapat seyoganya mempunyai peran yang sama terhadap laki-laki. Nyentana merupakan salah satu pola perkawinan adat Bali yang menempatkan perempuan sebagai purusa dan laki-laki sebagai predana. Ini berarti secara hukum adat Bali menempatkan perempuan pada posisi yang sentral walaupun masih dalam batasan secara simbolis. Dalam kata lain masih dalam bayang symbol patriarkhi masih tetap mengikat secara genderis. |