Sesungguhnya pranata hukum untuk melawan korupsi di Indonesia terbilang sudah mencukupi, meskipun dalam batas tertentu perlu ada penyempurnaan. Akan tetapi, derajat Indonesia sebagai negara yang benar-benar serius menjadikan korupsi sebagai musuh besar peradaban Indonesia masih belum menampakkan hasil sebagaimana yang diinginkan. Salah satu tudingan diarahkan pada aktor-aktor penegak hukum seperti polisi, kejaksaan, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan yang tidak menyediakan diri sebagai bagian yang dapat berkontribusi secara nyata terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi. Kutipan dari Taverne telah menjadi mantra sakti bertuah bagi kalangan yang meyakini bahwa peraturan perundang-undangan memang penting namun bukan segala-galanya dalam aras penegakan hukum: “Give me good judges, good supervisory judges, good prosecutors, and good police officers, I can have good law enforcement, although with a poor criminal code.” Pemberantasan korupsi di Indonesia seperti tidak mengalami kemajuan berarti setelah 13 tahun transisi dan konsolidasi demokrasi dibangun sejak era reformasi datang pada tahun 1998. Nyatanya, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perseption Index, CPI) Indonesia pada tahun 2010 berada pada skor 2,8, sama seperti skor pada tahun 2009. Aktor-aktor penegak hukum seperti disebut di atas membuat pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi sebuah tugas mustahil (mission impossible) dan seperti membangun benteng di atas udara (build castles in the air) . Menjadi tugas semua komponen bangsa untuk menjadikan pemberantasan korupsi bukan lagi seperti “menggantang asap, mengukir langit”, bukan tugas mustahil, dan bukan seperti membangun benteng di atas udara, melainkan menjadi tindakan konkret agar dapat menyelamatkan kebangkrutan bangsa yang diakibatkan oleh perilaku koruptif. |