Sari : Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan Pasal 24B Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam perkembangannya, meskipun keberadaan Komisi Yudisial diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun tidak serta-merta menjadi sebuah lembaga negara yang memiliki kewenangan super, khususnya setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV /2006, yang diucapkan pada 23 Agustus 2006. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi itu, keberadaan Komisi Yudisial pun menjadi tidak terlalu relevan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia jika wewenangnya hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat, sebuah wewenang sumir yang seyogyanya hanya boleh diperankan oleh panitia yang dibuat secara khusus dan bersifat sementara (ad hoc committee), bukan oleh lembaga negara permanen yang wewenangnya bersumber langsung dari konstitusi (constitutionally based power). Meskipun demikian, Komisi Yudisial masih terselamatkan oleh hadirnya dua undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur pengawasan Komisi Yudisial. Tulisan ini bermaksud mendiskusikan beberapa aspek penting Komisi Yudisial setelah gagasan-gagasan pada tingkat konstitusi diimplementasikan dan tentunya setelah Mahkamah Konstitusi mengamputasi kewenangan pengawasan Komisi Yudisial. Penguatan Komisi Yudisial, independensi hakim versus akuntabilitas publik, dan pemeriksaan putusan hakim adalah tiga hal yang menjadi perhatian utama tulisan ini. |