Full Description

Cataloguing Source :
ISSN : 14116995
Magazine/Journal : Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional 20 (1) Maret 2013. Hal. : 23-46
Volume :
Content Type :
Media Type :
Carrier Type :
Electronic Access :
Holding Company : Universitas Indonesia
Location : Perpustakaan UI, Lantai 4 R. Koleksi Jurnal
 
  •  Availability
  •  Digital Files: 0
  •  Review
  •  Cover
  •  Abstract
Call Number Barcode Number Availability
JPSNT 20:1 (2013) TERSEDIA
No review available for this collection: 20409495
 Abstract
Pertunjukan Arja dikenal sebagai drama tari yang mempergunakan kisah Panji sebagai lakonnya. Kisah Panji yang dikenal di Bali sebagai Malat pada awalnya dipertunjukkan dalam Gambuh. Sejak kemunculannya di tahun 1825 hingga saat ini, Arja telah mengalami berbagai perubahan yang menarik. Salah satu di antaranya adalah hadiirya beberapa Iakon baru dalam pertunjukannya. Lakon-lakon baru yang muncul dari kisah wayang, dan foklare Bali mengalami adaptasi yang menarik terkait dengan struktur Panji. Gejala yang menarik kemudian adalah sepulangnya Wayan Dibia dari Amerika (1990-an). la memperkenalkan ]akon-Yakon baru seperti Oedipus Rex, Phaedra, Sukreni Gadis Bali, dan lain sebagainya untuk diadaptasi ke dalamnya. Meskipun menggunakan lakon-lakon dari prosa modern, tctapi masyarakat penonton Arja mampu menerima lakon ini seperti mereka menelaah lakon-lakon sebelumnya. Pertunjukan-pertunjukan Arja yang digarap Wayan Dibia mendapatkan tanggapan dari para kritikus Bali sebagai inovasi yang menjadikan Arja selalu kontekstual, meskipun belum sepenuhnya maksimal pengadaptasiannya. Pada waktu yang sama muncul sebuah kelmnpok Arja yang semua pemainnya laki-laki. Kelompok ini disebut Arja Muarti (Arja aki-laki). Lakon-lakon yang mereka pertunjukan dipandang oleh banyak kalangan sebagai sebagai lakon gang berkecenderungan (lawakan). Salah satu kredo yang menarik dari mereka adalah ingin mengembalikan Arja sebagai pertunjukan laki-laki. Pada awal kemunculannya Arja memang dipertunjukan Ieh laki-laki, terkait dengan kritikan para golongan puri untuk menyindir perempuan yang menolak untuk labuh geni (melakukan sati sebagai lambang kesetiaan pada suaminya yang meninggal). Tahun 1925 muncul 4. a perempuan, dan kemudian Arya Sebunan (campuran laki-laki dan perempuan). Perkembangan ini memunculkan gagasan untuk menggunakan berbagai lakon di luar Panji. Perkembangan dari lakon-Iakon diatas akan dikaji sebagai upaya resepsi pendukungnya atas karya setiap jaman.