Penelitian ini berupaya menyelidiki ingatan sejarah Indonesia dan figur pemimpin pada etnis mayoritas pribumi Jawa dan etnis bukan pribumi Tionghoa. Di dalam proses sejarahnya, Indonesia telah membentuk konstruksi sosial atas dua perbedaan identitas (pribumi dan bukan pribumi) yang dapat menciptakan sentimen negatif pemimpin yang berbeda. Saat kebijakan berbau diskriminasi dicabut pasca tahun 2002, toleransi dan interaksi antar kelompok tersebut meningkat. Diduga interaksi itu turut mempengaruhi pola ingatan akan sejarah keindonesiaan dan figur pemimpin. Guna membuktikan argumen tersebut, etnis Jawa sebagai perwakilan identitas pribumi dan merupakan etnis mayoritas serta etnis Tionghoa sebagai kelompok bukan pribumi dijadikan sebagai subjek penelitian. Pertanyaan dalam bentuk asosiasi kata dan kuesioner dalam bentuk pertanyaan terbuka disebar pada 558 partisipan (Jawa= 61.5%, Tionghoa= 38.5%) berusia 15-40 tahun (M= 20.96%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut etnis Tionghoa peristiwa sejarah 17 Agustus 1945 dan G 30 S sebagai peristiwa sejarah yang paling penting. Tiga tokoh yang paling diingat menurut kedua kelompok adalah Soekarno, Gus Dur, dan Soeharto yang menjelaskan representasi sosial akan figur pemimpin secara hegemonik ada pada sosok presiden. Di pihak lain, temuan mengenai ingatan sejarah menjelaskan bahwa tidak hanya peristiwa politik, namun peristiwa traumatik juga menjadi pusat ingatan sejarah dan figur pemimpin bagi etnis Tionghoa dan etnis Jawa |