Kajian ini mengelaborasi konstruksi pertentangan norma hukum dalam skema pengujian Undang-Undang. Hasil analisis, meliputi: Pancasila dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai “pertentangan norma”; Mahkamah Konstitusi menguji seluruh Undang-Undang yang lahir sebelum dan sesudah amandemen dengan tolok ukur UUD 1945 yang sedang berlaku; Undang-Undang Dasar 1945 harus dimaknai sebagai konstitusi yang hidup (the living constitution) guna menegakan hukum dan keadilan; Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam menguji Undang-Undang terhadap UUD baik secara vertikal maupun horizontal; aspek keberlakuan sebuah Undang-Undang merupakan bagian dari pengujian materiil, bukan pengujian formil; makna “bertentangan dengan UUD 1945” harus dielaborasi secara komprehensif dalam putusan dengan mengutamakan tegaknya hukum dan keadilan; Mahkamah Konstitusi tidak boleh mengutamakan penafsiran original intent dan mengenyampingkan model penafsiran lain jika hal tersebut justru menyebabkan tidak berjalannya konstitusi; ketentuan non konstitusi dapat dibenarkan dalam pengujian formil, namun dalam pengujian materiil tidaklah tepat; pengeyampingan asas hukum acara “nemo judex idoneus in propria causa” dapat dibenarkan demi tegaknya konstitusi dan mengutamakan asas curia novit, pertentangan norma secara fomil dapat disimpangi oleh asas kemanfaatan demi substansi Undnag-Undang; putusan berlaku surut menyebabkan ketidakpastian hukum yang adil |