Putusan Nomor 33/Pid.B/2013/PN.Kdl adalah mengenaikasus perkosaan yang melibatkan korban seorangperempuan tuna rungu berinisial SW. Berdasarkansalinan putusan, SW tidak mendapatkan penerjemahselama proses persidangan. Dari beberapa permasalahanyang ditemui, penelitian ini mengulas tiga rumusanmasalah. Pertama, apakah kerugian dari hasil peradilanyang diterima SW terkait akses atas keadilan? Kedua,bagaimanakah perlakuan yang seharusnya diterapkanbagi korban difabel seperti SW? Ketiga, apa yangharus dilakukan negara untuk menjamin prosesperadilan affirmative bagi kaum difabel? Penelitianini menggunakan metode penelitian kualitatif dengandata sekunder dan analisis kualitatif. Hasil penelitianmemberikan beberapa kesimpulan. Pertama, tanpaadanya penerjemah atau bahkan pendamping, kerugianberkaitan hak akses atas keadilan yang dialami SWmenyebabkan korban tidak bisa memanfaatkan jaminankeuntungan formil dari ketentuan Pasal 98 ayat (1)KUHAP. Kedua, perlakuan khusus dalam proses peradilanyang dibutuhkan difabel adalah proses affirmative.Proses ini bertujuan menghilangkan diskriminasi bagikaum difabel. Ketiga, dalam merealisasikan jaminanperlakuan affirmative bagi kaum difabel, harus terdapatrevisi terhadap peraturan hukum terkait dan penajamanwawasan penegak hukum mengenai isu difabilitas. |