ABSTRAKPeraturan yang dibuat dan berlaku dalam masyarakat harus jelas dan dapat merefleksi kebutuhan perkembangan zaman sehingga memberikan kepastian hukum agar tercipta kondisi yang kondusif. Hal ini tidak tercermin pada UU No.24/2009 khususnya Pasal 31, ketidaksempurnaan UU No. 24/2009 berdampak pada ketidakjelasan mengenai sejauh mana kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian, sehingga telah membuat tidak adanya kepastian hukum dan kekuatan mengikat sekaligus kekuatan pembuktian dari suatu akta perjanjian khususnya akta dibawah tangan yang dibuat dalam bahasa asing. Suatu akta perjanjian dibawah tangan yang dibuat hanya dalam bahasa asing dalam hal pembuktian dan keabsahan di pengadilan dapat menjadi lemah sehingga secara hukum batal demi hukum hal ini terlihat dari putusan kasus perkara ini No. 48/PDT/2014/PT.DKI jo. No. 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar. Alangkah bijaknya apabila UU No. 24/2009 khususnya pasal tentang kewajiban penggunaan bahasa tersebut dilakukan peninjauan kembali (pengkajian ulang) mengenai penerapan pelaksanaannya dan sanksi apabila kewajiban penggunaan bahasa dilanggar. Guna meminimalisasi hal tersebut maka disarankan untuk membuat perjanjian yang melibatkan pihak asing ke Pejabat yang berwenang yang diangkat oleh negara Republik Indonesia yaitu Notaris agar para pihak mendapatkan penyuluhan hukum oleh Notaris selain itu akta notaris merupakan akta yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga dapat menghindari permasalahan hukum yang sama dikemudian hari. Penulisan ini menggunakan metode hukum normatif yaitu menitikberatkan pada peraturan yang berlaku, referensi dan literatur-literatur serta pelaksanaan peraturan dalam prakteknya. ABSTRACTRegulation, which is made and prevail within the society must be clear and reflect the need of current development, therefore it could provide the legal certainty to create conducive situation. This matter could not be reflected in the Law No. 24/2009, especially in the Article 31, where the imperfection of Law No. 24/2009 affects to the obscurity to what extent to the obligation of using Indonesia Language in the making of agreements, where this matter has caused the absence of law certainty, binding of law, and also the legal verification power for the agreement deeds, especially the underhand (privately-made) deed in the form of foreign languages. The underhand agreement deed which is made only by foreign language, in the matter of verification and legality inside the court, could become less power, therefore legally become null and void, where it is reflected in court decision No. 48/PDT/2014/PT.DKI jo. No.451/Pdt.G/2012/ PN.Jkt.Bar. It is wise if Law No. 24/2009, especially in the article concerning the obligation of using foreign languages, to be re-observed (examined) in the implementation and sanction, if this language obligation has been violated. In purpose to minimalize this issue, therefore it is suggested to make an agreement which involving the foreign parties, in the authorized official appointed by the Republic Indonesia, namely Notary, therefore all parties could be provided a legal aid by this Notary. Other than that, the notarial deed has the most perfect legal verification power, therefore shall be able to avoid the same legal disputes in the future. This thesis is prepared in the method legal normative by focusing in the applicable regulation, references, literacies and also the practice of implementation of the regulation. |