:: UI - Disertasi Membership :: Kembali

UI - Disertasi Membership :: Kembali

Regionisme dalam penataan permukiman di gugus pulau mikro studi kasus : Bioregion Kepulauan Seribu

Abimanyu T. Alamsyah; Jacub Rais, promotor; Son Diamar, co-promotor; Bianpoen, co-promotor (Universitas Indonesia, 2006)

 Abstrak

Berdasarkan konvensi hukum laut perserikatan bangsa-bangsa (united nations convention on the law of the sea) 1982, indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state), yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau (DKP 2000). Menurut UNESCO (RI 1997an) pulau kecil adalah pulau yang lebih kecil daripada 10.000 km2 penduduk kurang dari 500.000 orang. Namun terminologi pulau kecil tersebut terlalu besar untuk mewakili ke khasan permukiman di gugus pulau mikro, termasuk di Kepulauan Seribu dan pulau-pulau mikro di perbatasan Indonesia. Luas pulau-pulau mikro tersebut banyak yang kurang dari 1 km2 (DKP 2006). Luas total sekitar 110 pulau di Kepulaluan Seribu hanya 8,69 km2 di dalam laut seluas 6.979,50 km2 (Rayaconsult 2001).
Nelayan diidentifikasi sebagai termasuk miskin di Indonesia (RI 1997a). Agar turut brperan dalam penyelamatan lingkungan hidup, penataan ruang perlu merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan (WCED 1988) untuk peningkatan kualitas hidup komuniti lokal dan lingkungannya (ICPQL 1996), termasuk nelayan yang tinggal di region gugus pulau mikro kepualauan seribu.
Dalam kenyataannya sukar untuk mengukur kualitas hidup. Mengikuti paradigma kebersamaan (Fischer-Kowalsky et al. 1992), kualitas hidup pergantung kepada keramahan hubungan manusia dengan lingkungannya. Sebaliknya, daya dukung lingkungan hidup juga dipengaruhi oleh keefektifan metabolisme industri dan teknologi dapat mengubah limbahnya sehingga metabolisme alam dapat mengkonsumsinya sebagai makanan atau zat hera ( McDonough dan Braungart 1998). Hanya dengan meningkatkan kemampuan dan kapasitas masyarakat untuk memelihara maka kualitas lingkungan mereka dapat meningkat.
Suatu region adalah suatu bagian dari lingkungan hidup. Region diidentifikasi untuk keperluan penataan, sedangkan regionisme penataan adalah konsep dasar untuk menentukan batas-batas suatu region.
Sepanjang sejarah, esensi suatu region telah diidentifikasi melalui berbagai pendekatan, teori dan paradigma untuk berbagai tujuan dan bidang ilmu. Dalam mengidentifikasi keterkaitan antara ekologi dengan kultur di suatu tempat, Berg dan Dasmann (1977) menganjurkan untuk penggunaan konsep bioregion, region yang mengacu kepada kawasan geografis maupun kawasan kesadaran kultural penghuninya. Regionisme ini berkembang menjadi bioregioalisme, suatu pemahaman mengenai bagaimana untuk hidup di bioregion. Namun penerapan yang berkembang selama ini lebih beriorientasi kepada region daratan dan belum menyentuh masalah pulau-pulau mikro.
Paradigma laut sebagai milik umum mengantar nelayan besar untuk mengeksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya kelautan, Friedheim menyatakan perlunya institusi pentadbiran laut agar dapat mengalokasikan pemanfaatan dan pelestariannya secara lebih adil, efektif dan efisien (Friedheim 1999a, Bengen 2003). Namun pentadbiran sumberdaya laut tidak dapat meninggalkan kepentingan pemukim pulau yang kehidupannya berbasisi laut.
Fokusdisertasi ini adalah mempelajari keberlanjutan permukiman gugus pulau mikro di bioregion Kepulauan Seribu, serta mengevaluasi fungsi kebijakan penataan permukiman setempat selama ini dalam meningkatkan kualias hidup pemukim dan lingkungan setempat. Disertasi ini akan membuktikan bahwa kelemahan hasil penataan dapat dimulai sejak pemilihan regionisme penataannya. Beberapa temuan akan bermanfaat sebagai acuan penataan gugus pulau mikro lain yang serupa.


2. MASALAH PENELITIAN


Berbagai kebijakan, perencanaan dan penataan telah dilakukan untuk membangun daerah metropolitan jakarta, termasuk untuk Kepulauan Seribu. Walaupun demikian kondisi kehidupan penduduk gugus pulau mikro setempat tidak meningkat secara nyata.
Penataan ruang Kepulauan Seribu selama ini tidak mampu meningkatkan kualitas kehidupan pemukim dan lingkungan setempat.


3. HIPOTESIS


Daya dukung terhadap kehidupan di permukiman gugus pulau mikro menyangkut daya dukung manusia selain lingkungan alamnya, yang berinteraksi dan berproses secara berkelanjutan antara metabolisme sistem kehidupan manusia dengan metabolisme sistem alamnya. DI Kepualauan Seribu, metabolisme manusia termasuk penerapan iptek pendukung kehidupan pulau-pulaunya, sedangkan metabolisme alam termasuk kehidupan di pulau maupun di laut sekitarnya. Hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:


Hipotesis 1:
Penataan ruang selama ini masih didominasi oleh regionisme daratan, sehingga tida memperhatikan bioregion gugus pulau mikro yang ada di dominasi laut.


Hipotesis 2:
Peningkatan kualitas hidup pemukim dan lingkungan gugus pulau mikro di Kepualauan Seribu selama ini tidak dapat berkelanjutan karena penataan ruang selama ini tidak terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat setempat dalam suatu pentadbiran bioregion gugus pulau mikro.


4. TUJUAN PENELITIAN


1. Mengungkapkan kelemahan penataan permukiman di Keluapauan Seribu.

2. Mengkaji secara kritis kelemahan penerapan regionisme penataan yang lama terhadap keberlanjutan permukiman di gugus pulau mikro.

3. Mengkonstruksi regionisme penataan yang baru untuk gugus pulau mikro.

4. Menawarkan prinsip-prinsip penataan permukiman di gugus pulau mikro yang lebih memiliki kemampuan untuk mendukung peningkatan kualitas hidup pemukim dan lingkungannya.

5. Mengindikasikan konsekuensi regionisme penataan yang baru terhadap pentadbiran gugus puau mikro di Kepulauan Seribu.


5. METODE PENELITIAN


Penelitian ini merupakan kombinasi dari penelitian deskriptif dan penelitian penjajagan (Neuman 1997:19-21, 31-34). Sebagai penelitian deskriptif, gejala setempat akan diperlakukan sebagai gejala umum, dalam kasus ini kekhasan permukiman dibgugus pulau mikro. Penelitian ini dapat dianggap sebagai penelitian awal karena, dari hasil penelusuran peneliti, hingga kini penelitian mengenai regionisme penataan permukiman di gugus pulau mikro serta kaitannya dengan pentadbiran bioregion gugus pulau mikro belum pernah dilakukan.


Sesuai dengan esensi studi dan keterbatasan data pada awal studi, penelitian ini menggunakan kombinasi antara metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif dan metode kritik-eideografis (positive social science, interperlatif social science dan critical social science, Neuman 1997:60-80). Walaupun metode kuantitatif digunakan dalam pengolahan data awal, pada dasarnya penelitian ini merupakan penelitian longitudinal yang bersifat kualitatif, yang dilakukan dari tahun 2002 hingga 2004. Relevansi dengan perkembangan hingga tahun 2006 ditelusuri melalui informasi tambahan dari data sekunder dari pemerintah kabupaten Kepualauan Seribu maupun Departemen Kelautan dan Perikanan.


Kritik-ideografis dilakukan terhadap regionisme produk penataan ruang yang lama.


Identifikasi siapa yang termasuk komuniti pulau, serta pengungkapan regionisme yang digunakan pakar penataan ruang selama ini, melalui pengungkapan korelasi antara profil responden dengan persepsinya, dengan menggunakan metode uji korelasi variabel non-parametrik spearman.


Temuan ini kemudian dapat mengungkapkan peluang dan keterbatasan regionisme penataan uang digunakan dalam produk perencanaan tata ruang selama ini, hubungannya dengan pentadbiran gugus pulau mikro serta kondisi komuniti lokal dan lingkungan kehidupannya.


6. HASIL PENELITIAN


1. Kelemahan penataan ruang selama ini


Sebagai suatu ekoregion gugus pulau mikro, Kepualauan Seribu adalah suatu kesatuan lingkungan hidup terdiri dari pulau-pulau yang sangat kecil, relatif berdekatan, dengan total daratan tidak lebih dari 10km2, terpisah dari pulau besar atau pulau induknya, serta unsur lautan di sekitarnya yang jauh; lebih luas daripada daratannya. Kondisi ini menyebabkan pengaruh ekosistem laut dan perubahan iklim setempat lebih dominan daripada daya dukung ekosistem daratannya.


Tidak semua pulau mikro berpenduduk. Bagian terbesar pemukim gugus pulau mikro adalah nelayan atau bekerja mendukung kehidupan berbasis sumberdaya lingkungan laut. Di masa lalu tidak semua pulau dipilih sevagai pulau perumahan. Mereka tinggal terutama di satu atau lebih pulau yang berada di tengah ekoregionnya. Beberapa pulau dan karang di sekitarnya merupakan pelindung alami, penyedia air bersih, dan lainnya dapat menjadi pulau penyedia cadangan sumberdaya alam.


Setiap komuniti pulau laut pada awalnya memilih tempat tinggal di kesatuan gugus pulau mikro yang berbeda. Kesatuan gugus pulau permukiman ini dapat disebut sebagai suatu antroporegion gugus pulau ikro. Antroporegion yang menyatu dengan ekoregion gugus pulau mikro dapat disebut sebagai bioregion gugus pulau mikro. Bioregion pulau mikro pertama di kepualauan Seribu adalah bioregion gugus pulau Kelapa dan gugus pulau Panggang yang dihuni oleh komuniti turunan Mandar-Banten. Kemudian berkembang pula bioregion gugus pulau Genteng dihuni oleh komuniti Bugis. Kemudian komuniti lain datang dan tinggal di bioregion gugus pulau mikro lama dan baru. Ini membuat bioregion gugus.


Demi mewujudkan suatu Cagar Alam Laut, yang kemudian menjadi Taman Nasional Laut, sekitar tahun 1980-an pemukim di bioregion gugus pulau mikro Pulau Genteng di pindahkan ke Pulau Sebira dan Pulau Kelapa Dua. Setelah lebih dari 20 tahun, nelayan Bugis di Pulau Kelapa Dua tetap miskin (TCP 2004). Disisi lain, Pulau Sebira sangat terpencil di bagian Utara Kepulauan Seribu. Ini membuat tindakan penyelamatan kegiatan mereka di laut dari pembajakan seolah-olah di luar tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Penataan ruang selama ini, termasuk pemindahan permukim daerah setemat. Penataan ruang selama ini, termasuk pemindahan permukim pulau Genteng ke kedua pulau baru tersebut, terbukti tidak meningkatkan kesejahteraan maupun kualitas hidup mereka.


2. Kelemahan regionisme penataan ruang selama ini


Berdasarkan undang-undang penataan ruang No. 24/1992 (RI 1992), penataan ruang yang lama mengacu kepada regionisme administrasi dan fungsional. Penataan ruang DKI Jakarta, termasuk kepualauan Seribu, cenderung didominasi regionisme daratan. Hasil kajian peta, studi lapangan, wawancara mendalam, dan kajian kritis terhadap londisi setempat dan produk penataan ruang sejak 1964-1999 menunjukkan rencana yang dibuat tidak konsisten, banyak kontradiksi dan potensi konflik antara rencana tata ruang yang ada.


Region administrasi lama tidak saja mengabaikan kondisi ekoregion laut namun juga antroporegion setempat. Tanpa referensi mengenai daya dukung laut setempat, rencana zonasi Taman Nasional Laut mengurangu era oenghidupan nelayan tradisional. Area eksploitasi minyak dan gas bumi tidak termasuk area tanggung jawab terhadap dampak tumpahan minyak ke laut sekitarnya. Penataan berdasarkan region fungsional sangat sektoral dan tidak terintegrasi dengan penataan ruang lain di region yang sama (Dephut 1986, 1995, 2002). Tidak ada penjelasan mengenai waktu-ruang pekerjaan komuniti lokal yang mempengaruhi masa pemanfaatan suatu bagian pulau dan laut sekitar pulau.


Persepsi pakar tata ruang juga menunjukkan bahwa regionisme penataan selama ini cenderung berbasis daratan. Regionisme daratan tidak mampu mengantisipasi perubahan lingkungan akibat aktifitas pembangunan berbasis laut.


Asumsi dasar dan aplikasi bioregionisme selama ini berbeda dengan kondisi permukiman di gugus puau mikro. Cakupan penerapannya masih terbatas kepada bioregion sebagai daratan luas dan sebelumnya dihuni oleh komuniti yang relatif homogen. Bioregionisme selama ini belum cukup mengidentifikasi regionisme penataan bagi permukiman yang berbais laut di gugus pulau mikro, semacam di Kepulauan Seribu.


3. Regionisme penataan untuk peningkatan gugus pulau mikro


Waktu-ruang unsur ekoregion suatu gugus pulau mikro selalu berubah. Oleh karena itu kehidupan di lingkungan Kepulauan Seribu selalu berubah sehubungan dengan perubahan kondisi dan perilaku ekoregion setempat. Antroporegion setempat juga berubah bersama dengan perubahan kondisi dan perilaku penduduk untuk mengantisipasi perubahan kondisi ekoregion, perkembangan ilmu dan teknologi kepulauan, serta perubahan kultur pemukim gugus pulau mikronya.


Dalam mengantisipasi perubahan kondisi ekoregionnya, setiap kelompok pemukim memiliki waktu-ruang dan strategi mempertahankan kehidupan masing-masing yang tidak selalu ramah lingkungan dan tidak semua berkelanjutan.


Upaya pemulihan atau peningkatan kearifan lingkungan dan kapasitas pemukim setempat hanya dapat bermanfaat bila pemukim sendiri terlibat dalam proses peningkatan kualitas kehidupannya dalam jangka panjang. Pendekatan ramah lingkungan dan kegiatan peningkatan kualitas hidup hanya dapat efektif bila komuniti pulau-laut setempat menjadi pelaku kunci dalam mengembangkan region gugus pulau mikronya sendiri, termasuk dalam proses penataannya.


Pengertian bioregion sebagai acuan dasar regionisme penataan gugus pulau mikro dapat digunakan, namum berbeda dengan fungsi awal bioregionalisme. Dalam bentuk baru, bioregion gugus pulau mikro dapat berfungsi secara operasional sebagai regionisme penataan gugus pulau mikro secara berkelanjutan. Bioregionisme gugus pulau mikro bukan sekadar untuk memahami ekoregion dan antroporegion setempat, namun juga sebagai dasar upaya bagaimana agar proses
penalaan betul-betul untuk meningkatkan kualitas hidup pemukim dan lingkungan
gugus pulau mikro setempat. Oleh karena itu bioregionisme gugus pulau mikro
sebagai regionisme penataan merupakan acuan utama proses pentadbiran bioregion
gugus pulau mikro yang dapat mendorong l-ceterlibatan pemukim setempat.


4). Prinsip-prinsip penataan dan pentadbiran gugus pulau mikro
Beberapa prinsip yang perlu diperhatilcan dalam penataan dan pentadbiran
bioregion gugus pualu mikro, adalah sebagai berikut:
1. Region penataan harus berbasis bioregion gugus pulau mikro,

2. Tujuan utama penataannya adalah meningkatkan kualitas hidup setempat,

3. Penataan perlu mengacu kepada waktu-ruang metabolisme unsur-unsur
bioregionnya

4. Pelaksanaannya perlu melaiui proses yang ramah lingkungan,

5. Penataan permukiman merupakan bagian dari proses berlanjut pentadbiran
bioregion gugus pulau mikro,

6. Komuniti pulau-laut setempat berperan dalam menentukan hari depan
region permukimannya sendiri.

7. Hasilnya harus merupakan peningkatan kualitas permukiman di gugus
pulau mikro secara berkelanjutan.


5). Konsekuensi bioregionisme gugus pulau mikro
Mengacu kepada kondisi dan potensi setempat, paling kurang ada tiga strategi
potensial yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup pemukim dan
lingkungan gugus pulau mikro.
1. Dasar Konsepruai : Mengubah regionisme penataan yang semula berbasis
daratan menjadi berbasis bioregion gugus pulau mikro yang meliputi
ekoregion dan antroporegion pulau-laut setempat.

2. Pendekatan Penatrmn: Mengubah pendekatan penataan yang semula
berorientasi produk menjadi berorientasi proses sebagai bagian dari pruses
pentadbiran bioregion gugus pulau mikro; proses belajar bersama
berkelanjutan untuk mewujudkan peluang untuk meningkatkan kualitas
hidup setempat

3. Kelembagaan: Pengembangan institusi untuk memfasilitasi proses
perubahan dari berbasis regioisrne daratan menjadi bioregionisme gugus
pulau mikro, melalui peningkatan keberdayaan dan peran komuniti pulau-
laut setempat.

 File Digital: 1

Shelf
 D626-Abimanyu Takdir Alamsyah.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : D626
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Universitas Indonesia, 2006
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : xxiv, 134 pages : illustration
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D626 07-17-882947213 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20424868