:: UI - Disertasi Membership :: Kembali

UI - Disertasi Membership :: Kembali

Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dalam konteks penerapan Islam di Indonesia (Studi terhadap penerapan hukum Islam di Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat)

A. Salman Maggalatung; H.M. Tahir Azhary, promotor; Ahmad Sukardja, co-promotor; Jufrina Rizal, co-promotor; Lili Rasjidi, examiner; Sri Soemantri Martosoewignjo, examiner; Umar Shihab, examiner; Rifyal Ka`bah, examiner (Universitas Indonesia, 2007)

 Abstrak

Dinamika perkembangan dan posisi hukum Islam senantiasa mengalami pasang surut sesuai gelombang dan iklim politik yang menyertainya. Jauh sebelum Kemerdekaan, hukum Islam telah berkembang dan menjadi hukum positif bagi kerajaan Islam. Pada awal pemerintahan kolonial Belanda hukum Islam diterima sepenuhnya sebagai hukum yang berlaku bagi orang Islam dengan teori Receptio in Complexu oleh L.W.C. Van den Berg yang mengakui eksisensi hukum Islam, namun teori ini dibantah oleh Snouck Hurgronje dengan teori Receptie-nya, bahwa hukum Islam baru dapat diterima setelah diakui oleh hukum adat. Selanjutnya teori ini mendapat reaksi dari umat Islam, Hazairin misalnya menyebutnya sebagai teori iblis. Pada masa pemerintahan Balatentara Jepang, posisi hukum Islam masih tetap sama seperti pada masa pemerinahan Hindia Belanda. Menjelang Indonesia merdeka tercapai sebuah kompromi antara pendukung negara berdasarkan agama (Islam) dan pendukung negara berdasar Pancasila tertuang dalam ?Piagam Jakarta?, kendatipun hanya sebentar, piagam tersebut seolah meniupkan angin segar bagi perkembangan dan posisi hukum Islam. Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan terjadi nncoretan atas kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari?at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", sebagai garansi utuhnya NKRI. Demi menjaga stabilitas politik, keamanan dan keselamatan negara, Prsiden Soekamo mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam dekrit tersebut Presiden Soekamo menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi. Piagam Jakarta memang tidak tampak dalam konstitusi Indonesia, akan tetapi ia ada, menjiwai dan hidup, serta memberi kehidupan bagi perkembangan hukum Islam, Jiwa dari Piagam Jakarta itulah yang melahirkan berbagai produk perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam yang wajib dilaksanakan oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam. Dari sini dapat dipahami, bahwa Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 dapat menjadi dasar inspirasi dan pegangan dalam upaya penerapan hukum Islam di Indonesia. Era reformasi dan otonomi claerah temyata disambut baik oleh sejumlah Pemerintah Daerah di Indonesia untuk berperan lebih besar. Di Kabupaten Tasikmaiaya, Cianjur dan Gamt misalnya, telah menetapkan Perda untuk membasmi penyakit sosial masyarakat dan sejumlah kebijakan Iainnya untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan masyarakat. Kreativitas Pemerintah Daerah dan masyarakar tampaknya cukup beralasan, yakni adanya semacam kerinduan umat Islam terhadap syari'at agamanya untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kreatifitas ini clinilai oleh sebagian anggota masyarakat sebagai kompensasi politik pemerintah kepada rakyat. Upaya itu terkesan dipolitisasi dalam bentuk formalisasi dan simbolisasi syari'at Islam untuk menarik simpatik rakyat dan institusi-institusi umat Islam untuk memuluskan roda pembangunan yang dicanangkannya. Seperti apapun wacana dan kontroversi yang muncul mengenai gerakan pemerintah yang sedang berkuasa, bagi penulis adaiah hal yang wajar. Yang panting dalam perspektif yuridis tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara konstitusional kebijakan itu dapat dibenarkan karena sesuai dengan Pancasila dan Dekrit Presiden RI S Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD I945, tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, bahkan sesuai dengan realitas masyarakat. Keherlakuan hukum Islam adalah suatu kenyataan, bukan sesuatu yang datang secara tiba-tiba, menafikan keberlakuan hukum Islam berarti menafikan pula terhadap realitas, dan menafikan terhadap realitas, itu artinya pengkhianatan terhadap keberadaan umat Islam. Karena itu, kenika kita berbicara mengenai pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka semua unsur pembentukan hukum harus cliperlakukan secara adil, tak terkecuali hukum Islam. Mengenai simbolisasi dan substansialisasi dalam penerapan hukum Islam, menurut penulis keduanya baik dan diperlukan. Narnun jika lerjadi pilihan karena sesuatu hal yang dapat memicu terjadinya konflik sesama anak bangsa, maka tentu saja yang menjadi pilihan adalah substansinya, karena simbolisasi itu memang hanya merupakan proses dan jalan menuju tercapainya substansialisasi.

 File Digital: 1

Shelf
 D748-Salman Maggalatung.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : D748
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Universitas Indonesia, 2007
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : xxvii, 444 pages ; 28 cm
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D748 07-17-216153175 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20425736