:: UI - Disertasi Membership :: Kembali

UI - Disertasi Membership :: Kembali

Dewan kelurahan dan kepemerintahan lokal : studi kasus tentang Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK) di Kelurahan Gedong Jakarta Timur

Lumban Gaol, Harapan; Paulus Wirutomo, promotor; Rochman Achwan, promotor (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005)

 Abstrak

Pergeseran paradigma dari pemerintah (government) menuju kepemerintahan (governance) yang terjadi saat ini tidak hanya pada tataran makro dengan lahimya berbagai legislasi tentang otonomi dan desentralisasi. Bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta paradigma kepemerintahan juga sudah dibangun di tataran mikro yaitu kelurahan. Ditetapkannya berbagai Perda tentang pmerintahan kelurahan, serta didirikannya Dewan Kelurahan (Dekel) yang dibidani pemerintah dan operasinya dijalankan masyarakat merupakan upaya membangun kepemerintahan lokal di tingkat bawah. Dengan paradigma itu ada kemauan politik untuk membatasi peran dominatif pemerintah dan memperkuat partisipasi masyarakat.
Model kemeperintahan lokal yang intinya menyediakan ruang dan mengaktifkan peran berbagai aktor dan institusi untuk mengambil bagian signifikan dalam pembangunan adalah pembagian kerja koordinatif dan heterarkhis dalam kerangka otonom. Intinya adalah membangun relasi sinergistik dalam bentuk komplementaritas dan kelekatan sehingga masing-masing aktor atau institusi pemerintah dan privat memberikan kontribusi setara dan signifikan bagi komunitas, dalam kerangka otonomi yang melekat (embedded autonomy) (Pierre, Jessop, Stoker 2000: Evans 1995, I996; Ostrom 1996, Woolcock 1998).
Meski agak normatif, model kepemerintahan terbukti bukan utopia diterapkan di negara berkembang seperti indonesia. Pengalaman kawasan di negara-negara berkembang seperti Porto Alegre di Brasil, Novgorod di Rusia, Kerala di India, relasi sinergistik pemerintah dan masyarakat dapat terjadi dalam atmosfir pembagian kerja yang Fungsional dan produktif. Pada tataran lokal, model itu dibangun dengan memberi dan menciptakan ruang yang luas bagi aktor dan institusi masyarakat sipil dengan fasilitasi pemerintah untuk bersama-sama melakukan perubahan. Hasilnya adalah model itu sangat fungsional sebagai tambatan modal sosial dengan terjadinya interaksi intens, saling belajar dan saling kontrol antar stakeholders, sehingga terjadi efisiensi ongkos pombangunan secara signifikan dan masyarakat menunjukkan rasa memiliki atas berbagai program pembangunan.
Replikasi model dari suatu negara ke negara lain atau suatu kawasan ke kawasan Iain memang dapat dilakukan sepanjang terdapat social curcumstances yang relevan. Nampaknya model kepemerintahan lokal yang kini terjadi di kelurahan Jakarta adalah replikasi dari model yang terjadi pada kawasan lain. Persoalan dari suatu replikasi model adalah bahwa ia harus mempertimbangkan determinan tertentu terutama pengalaman masa lalu, iklim sosial politik, termasuk kultur lokal. Berjalannya model kepemerintahan di kawasan yang disebut di atas sangat ditentukan oleh atmosfir masyarakatnya yang legalitarian dan juga tata birokrasinya yang sehat, yang sebagiannya dipengaruhi oleh faktor anugerah sejarah yang telah berjalan berabad-abad, termasuk juga inovasi organisasional yang diperjuangkan oleh para reformis di kalangan pemerintah dan masyarakat sipil.
Jika dikaitkan dengan atmosfir di Indonesia (Jakarta), determinan di atas dapat disebut tidak memiliki akar. pengalaman masa lalu dengan pemerintah yang mencengkeram, iklim sosial politik saat ini yang masih pada taraf transisional, serta kultur lokal yang masih dikungkung klientelisme, sebagiannya kurang memberi fundasi kokoh bagi berjalannya gerakan kepemerintahan lokal. Akan tetapi pergeseran paradigma dan implementasi berbagai model kepemerintahan lokal yang terjadi saat ini dalam bentuk formal rules (mulai dari UU 22/1999; 3212004 hingga Perda DKI Jakarta 5/2000) dan berbagai ujicoba program (sepeni Dewan Kelurahan) sesungguhnya menjadi potensi menuju pernbangunan sistem kepemerintahan yang baik (good governance).
Untuk memahami persoalan di atas, studi ini kemudian mempertanyakan "dalam setting dan situasi sosial facial circumstances) apukah sinergi dapat terjadi antara pemerintah (kelurahan) dan masyarakat (Dekel) khususnya di Kelurahan Gedong?" Secara lebih rinci pertanyaannya adalah (i) apakah dimensi peraturan formal (UU, perda dan peraluran lainnya) menyediakan ruang bagi terjadinya pembagian kerja sinergistik antara pemerintahan lokal dan masyarakat, dan sejauh mana aturan tersebut fungsional dalam mempengaruhi perilaku dan tindakan aktor pemerintah dan masyarakat (Dekel) melaksanakan kepemerintahan lokal? (ii) determinan-determinan budaya (lnformal rules) apakah di dalam masyarakat yang mempengaruhi (mendukung, memperlancar, menghambat) kepemerintahan lokal? serta (iii) dalam dimensi apakah program partisipatif (PPMK) yang ada fungsional mempengaruhi (mendukung, memperlancar, menghambat) kepemerintahan lokal?
Untuk menemukan jawaban, data dihimpun dari para informan kunci yaitu pejabat pemerintah mulai dari atas (Pemda DKI) hingga pejabat kelurahan, perangkat warga seperti para pcngurus RW dan RT, Dekel, tokoh-tokoh informal masyarakat, LSM, warga biasa serta kelompok pemanfaat dana PPMK. Data diperoleh melalui studi dokumentasi, pengamatan partisipatif, wawancara mendalam, diskusi terarah (FGD), untuk selanjulnya dianalisis secara kualitatif.
Studi ini menemukan, secara struktural (institusional) telah ada perubahan paradigma menuju kepemerintahan lokal di tataran regulatif terbukti dengan muatan berbagai aturan formal yang mengatur dan mengarahkan terjadinya sinergi (kelekatan dan komplementaritas) antara pemerintah kelurahan (Pemkel) dan masyarakat (Dekel). Akan tetapi pada tataran empiris sinergi yang terjadi masih pada taraf simbolik. Hal ini disebabkan perubahan pada ranah struktural (inslitusional) di tingkat atas tidak otomatis diikuti perubahan struktural (institusional) di tingkat bawah pada tubuh pemerintah Iokal. Selanjutnya perubahan pada dimensi struktural (institusional) pada tataran negara tidak otomatis diikuti parubahan pada dimensi kognitif (relasional) pada tataran masyarakat. Ada dilema antara upaya menyediakan ruang bagi bangkitnya masyarakat sipil dengan kepentingan mempertahankan status quo pemerintah. Akibatnya di lapangan terjadi bentuk ?relasi sinergistik baru? antara Pemkel dan masyarakat (Dekel) dengan mengembangkan resiprositas negatif yang dilakukan dengan menarik diri untuk tidak saling berinteraksi intens, tidak saling belajar dan tidak saling mengontrol agar masing-masing pihak aman pada posisinya sendiri. Pemerintah dan masyarakat justru membangun otonomi yang tidak melekat.
Program PPMK yang diharapkan mcnjadi instrumen mempertautkan pemerintah, Dekel dan warga justru menjadi alat dikotomi karena program direkayasa untuk menciptakan sekat-sekat di antara ketiganya. Pemerintah tidak mencampuri urusan PPMK dengan ekspektasi Dekel melakukan hal serupa dengan tidak mengintervensi berbagai program dan proyek pemerintah. Dana PPMK dipinjam-gulirkan kepada ?warga mampu? dengan ekspektasi agar akumulasi dana tetap terjaga sehingga Dekel mendapat citra sebagai penyelenggara PPMK yang berhasil (kepentingan institusional). Cara ?win-win solution " yang terjadi saat ini, meski menjauh dari esensi sinergi, pada taraf tertentu cukup ?fungsional? sebagai ?sabuk pengaman? bagi masing-masing pihak untuk tidak terjebak dalam konflik terbuka yang akhirnya merugikan komunitas. Dengan pola ini pula penembusan batas publik. privat di tingkat lokal belum bisa terjadi, dan kekhawatiran bahwa pemerintah dan masyarakat (Dekel) membangun kolusi dan public rem seeking juga tidak terjadi.
Berdasarkan temuan ini saya mengajukan tiga rekomendasi: (i) gerakan good local governance perlu mempertimbangkan struktur sosial politik lokal dan dilaksanakan secara menyeluruh, dimulai dengan refonnasi struktur pemerintahan Iokal yang mengarah pada otonomi. Pemda DKI Jakarta perlu melakukan amandemen bagi berbagai peraturan perundangan untuk memperbaharui kebijakan dengan (a) memberi peran Iebih besar kepada Jekot dan Dekelg (b) melakukan pemilihan kepala kelurahan secara Iangsung; (c) menciptakan kontrak politik antara kepala kelurahan dengan warga untuk menjalankan tugas-tugas kepemerintahan lokal; (ii) harus ada koherensi antara Iogika aturan formal yang dibangun di tingkat atas dengan Iogika lembaga eksekutif dan masyarakat di tingkat lapangan dengan kontrol yang intens; (iii) model pemberdayaan ekonomi warga yang tidak pernah berkelanjutan (sustainable) perlu direformulasikan dengan membaginya menjadi dua kategori yaitu (a) bantuan sosial (social assistance) dan (b) kredit keuangan mikro (microflnance). Jenis pertama diciptakan sebagai "lumbung esa" yang ditujukan sebagai jaminan substitutif bagi warga kurang beruntung yang terkena risiko kehilangan atau ketiadaan pendapatan, jenis kedua dikelola warga yang kompeten, terlatih dan ahli di bidang itu untuk mencapai profit dan hasilnya untuk subsidi bantuan sosial dan juga pembangunan infrasruktur kelurahan untuk menciptakan kelurahan yang mandiri".

The paradigm shift from "government" towards "governmance" has structurally changed the map of national and local governance of Indonesia. At the macro level, Act number 22/l999 and 32/2004 concerning local autonomy and decentralization have functioned as national guidelines to shift from centralized government to become decentralized govemance. As the impact to the micro level, local governments have also enacted several local regulations aimed at strengthening local communities. Currently, local govemment of Jakarta has also enacted local regulations (among others is Number 5/2000) and built Local Social Chamber (Dewan Kelurahan) of the so-called ?Dekel? in every kelurahan in Jakarta. Dekel which was fonnerly initiated by local government of Jakarta functions as a local civil society organization where all its activities are operated and managed by citizen?s representatives whose elected in participatory and democratically manner from every neighborhood areas (Rukun Warga). The shift ofthe paradigm seems to be a government political will to strengthen local people and to minimize local government?s dominations.
Local governance which essentially provides certain spaces for civil society and activate all related stakeholders to take part significantly in local development is a division of labor which relates to the new practices of coordinating activities through networks, partnerships, deliberative forums, and heterarchical cooperation in an embedded autonomy. The subject matter of local governance is mutually reinforcing relations between government and groups of engaged citizens in synergistic relation both in complementarity and also in embeddedness (Pierre, Jessop, Stoker 2000: Evans 1995, 1996; Ostrom 1996, Woolcock 1998).
Local governance, refers to the experiences of several developing countries might be feasibly implemented in Indonesia. Many states (e.g. Porto Alegre in Brazil, Novgorod in Russia, Kerala in India), have been proving that synergistic relation between government and civil society could be created and strongly functional and productive to the development. The model, in fact, enables harmonious cooperation among local actors and institutions where social capital is embedded. Actors and institutions are mutually having intensive relations, social leaming processes, and social control that enables development sustainable and efficient.
Replication of a model conducted by govemment of Jakarta would only be feasible as far as a relevant or resemble social circumstances are provided. A replication, however, should also consider other determinant factors such as past experiences, social and political atrnospheres, as well as local cultures. However, the success story of local govemancc in mentioned states, mostly determined by its egalitarian people and healthy local bureaucracy which is rooted in a long history as historical endowment. Besides, the rcforrnists from local govemment also takes important role on improving organizational innovations. While in Jakarta such historical determinant factors are not rooted. Government of new order regime which was co-opted, hegemonic and centralistic, the current transitional social and political situation and the local cultures remain sustaining clientelism are probably the fundamental inhibitions to realize the new governance paradigm. Therefore, the need for studying new paradigm shift (formal rules and local institutional building) would be important.
To understand above research problems, grand tour research question is "in which social settings d circumstances are the local govemment and citizens (Dekel) able to make synergy" Sub research uestions are; (i) do formal rules (acts, local regulations, etc.) provide spaces for synergistic division of...

 File Digital: 1

Shelf
 D794-Harapan Lumban Gaol.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : D794
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : xix, 225 pages : illustration ; 29 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D794 07-17-083197730 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20425827