:: UI - Disertasi Open :: Kembali

UI - Disertasi Open :: Kembali

Resolusi konflik dalam manajemen warisan budaya situs sangiran

Bambang Sulistyanto; Mundardjito, promotor; Daud Aris Tanudirjo, co-promotor (Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008)

 Abstrak

Warisan budaya sebagai media yang dianggap memiliki fungsi dalam menjaga proses pertumbuhan kbudayaan bangsa, ternyata makna yang terkandung di dalamnya dapat diwariskan secara berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan sistem pengetahuan srakeholders (pemangku kepentingan) dalam memaknai warisan budaya Situs Sangiran dan cara-caranya bertindak menggunakan sistem pengetahuan yang mereka miliki. Penelitian mengenai sistem pengetahuan tersebut, dinilai sangat penting, guna memahami perasaan dan pikiran mereka dalam merepresentasikan kebudayaannya terhadap Iingkungan sosial, budaya maupun lingkungan alam Situs Sangiran. Pemaknaan pemerintah (pusat) terhadap warisan budaya Sangiran sangat berbeda dengan pemaknaan yang diberikan oleh penduduk, bahkan orbeda pula dengan pemaknaan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Otonom. Dalam konteks demikian inilah, ketiga sistem pengetahuan budaya yang berbeda itu diperbandingkan guna menjelaskan beberapa faktor penyebab terjadinya konflik pemanfaatan warisan budaya Situs Sangiran. Konsekuensi atas kajian di atas, menuntut penelitian ini menemukan model pengelolaan Situs Sangiran beserta pengembangannya ke depan, karena model pengelolaan yang diterapkan sudah tidak sesuai lagi dengan perubahahan sistem kepemerintahan pada masa sekarang.
Hasil penelitian ini memperlihatkan, bahwa model pengelolaan yang masih terpengaruh oleh kerangka pikir masa Kolonial dengan ciri kebijakan bersifat satu arah (top down), eksklusif dan legislator, hanya akan meneiptakan konflik kepentingan yang berkepanjangan. Dalam era otonomi Daerah seperti sekarang ini, model pengelolaan yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Situs Sangiran, adalah model pengelolaan berdasarkan sistem yang mengutamakan konsep- milik bersama atau arkeologi untuk masyarakat.
Memperhatikan berbagai konflik yang leljadi di Situs Sangiran selama ini, paling tidak ada lima konsep dasar yang harus dipenuhi oleh lembaga arkeologi dalam menata Situs berskala dunia ini. Pertama, lembaga arkeologi harus bersifat reaktih yailu peka dalam menangkap berbagai permasalahan yang terjadi di dalam masyaralcat dengan memberikan pandangan-pandangan yang biiak dan jalan keluar terbaik (win-win solution). Kedua, akomodatif artinya lembaga pengelola Sangiran harus mampu menampung berbagai kepentingan yang masing-masing kepentingan memiliki perbedaan sasaran dan tujuan. Ketiga, partisipatif dalam arti semua kegiatan pengelolaan warisan budaya harus melibatkan berbagai stakeholders. Keempat, Iernbaga arkeologi pengelola Situs Sangiran harus bersifat transparan, dalam arti semua kebijakan perlu diktahui dan dibiearakan dengan publik. Kelima, integralif, lembaga arkeologi pengelola Situs Sangiran harus mampu mengintegrasikan seluruh kemampuan stakeholders dalam kesatuan visi yang terkoordinasi.
Untuk menciptakan model pengelolaan yang reaktif; akomodatif, partisipatif dan transparan, serta integratif; dipandang penting pemerintah (pusat) segera menerapkan Situs Sangiran sebagai kawasan stratogis nasional sekaligus membentuk lembaga independen, yaitu Badan Otorita Kawasan Sangiran yang mampu menyatukan berbagai perbedaan persepsi dan berupaya mengakomodir beragam kepentingan, agar polensi Situs dapat dimanfaatkan secara maksimal, balk untuk kepentingan mayarakat lokal, regional, nasional, maupun global.
Cultural heritage, a medium considered to act as maintenance-key of the cultural growing process of nation, apparently bears significant meaning which can be inherited in various ways. Accordingly, this present research is aimed to disclose the stakeholders? knowledge system in denoting the cultural heritage of Sangiran as well as its application. The essence of the study on such knowledge system is to understand the stakeholders? perceptions and ideas in representing their culture upon the social, cultural and natural environment of Sangiran. The study' detected the denotation of the national govemment on the cultural heritage of Sangiran completely differs from that of the community of Sangiran; moreover, it further differs from that of the autonomy district govemment. Consequently, the three dissimilar system of cultural knowledge are compared to explain several factors causing the conflict of benefiting from cultural heritage of Sangiran. The overall product of this research is to build a more relevant management model of Sangiran including its prospective development; since the present model is no longer appropriate with the converted govemmental system.
This research discovered that the present management model is still affected by the colonialism viewpoint which is characterized by the top-down policy, exclusivism and legislativism; these characteristics have created a prolonged conflict of interests. Therefore, during the present autonomy district governance, the management model which considered will properly function in Sangiran will have to be based on a system that accommodate public concept which is archaeology for the people.
In regard to a number of conflicts that have occurred in Sangiran up until now, there are at least five basic concepts which have to be considered by the archaeological institutions in Indonesia to organize this world-scale site. First, the archaeological institution of Sangiran has to be reactive, which is having the sense in capturing problems occurred in the society and providing wise opinions and win-win solutions. Second, accommodative in terms of capable of accommodating varieties of interests which each of them contains different aim and purpose. Third, participative, meaning stakeholders must be involved in every cultural heritage management. Fourth, the archaeological institution of Sangiran must employ a ?transpr-arent? management to enable the public to know and openly discuss the institution?s policy. Fifth, integrative, the archaeological institution of Sangiran must be capable to integrate the entire capability of stakeholders in one coordinated vision.
In order to build a reactive, accommodative, participative, transparent and integrative management model, it is crucial for the national govcmment to soon determine Sangiran as a national strategic zone and establish an independent institution i.e. Sangiran Zone Authority Foundation (Baden Otorita Kawasan Sangiran). This foundation is hoped to be able to integrate various differences of perception and attempt to accommodate a range of interests to enable the maximum benefiting from the potency of Sangiran for local, regional, national and global interests.

 File Digital: 1

 Metadata

No. Panggil : D889
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten :
Tipe Media :
Tipe Carrier :
Deskripsi Fisik : xviii, 415 hlm. ; 30 cm. + lamp.
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D889 07-17-535762870 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20426324