Perkembangan Ilmu Pemerintahan di Indonesia sejak jaman kemerdekaan hingga saat sekarang ini mengalami proses anomaly yang ditandai oleh pemikiran tentang Ilmu Pemerintahan oleh para Sarjana dari berbagai bidang kompetensi, seperti: hukum, sosiologi, administrasi, dan bahkan ilmu teknik. Semua berkontribusi dan memberi karakter terhadap llmu Pemerintahan yang berakibat timbulnya polemik dan kontroversi.Disertasi ini merupakan suatu upaya penelitian dari penulis untuk memahami Ilmu Pemerintahan Secara epistemologs, dengan menggunakan metodologi hermeneutika yaitu untuk memahami (verstehen) dan menjelaskan (erldciren) tentang paradigma, metodologi, ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan tentang ilmu itu sendiri.Thesis Sratement, penulis dalam disertasi ini adalah: Ilmu Pemerintahan bukanlah ilmu epistemologi positivistik, dan bukan juga ilmu dengan epistemologi pragmatis instrumental, melainkan ilmu dengan epistemologi kritis yang berkarakter interdisipliner dan multidisipliner. Bertolak dari Thesis Statement tersebut, penulis menjelaskan tahapan perkembangan epistemologi berdasarkan teori-teori dari: Moritz Schlick, dkk., Karl R. Popper, dkk., Thomas Kuhn dan Habermas, sebagai kerangka pemikiran.Pengaruh positivisme logis dalam Ilmu Pemerintahan terlihat dengan sangat nyata pada proses kegiatau ilmu pengetahuan, seperti: paradigma, prinsip, metodologi dan analisa yang digunakan untuk melakukan problem solving. Tinjauan kritis tentang karakteristik dan identitas keilmuan yang dilakukan oleh penulis dengan melihat secara kronologis perkembangan epistemologi dari abad pertengahan sampai sekarang ini, dimulai dari: epistemologi positivistik, epistemologi pragmatis dan epistemologi kritis.Schlick, dkk. melalui Lingkaran Wina mengemukakan konsep demarkasi ilmu pengetahuan. Artinya, garis batas antara wilayah ilmu pengetahuan dan bukan wilayah ilmu pengetahuan. Lingkaran Wina, membagi antara pernyataan yang bermakna (meaningful dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) dengan menggunakan metode verifikasi. Suatu pernyataan yang dapat diveriikasi dan terbukti kebenarannya, maka pernyataan tersebut adalah ilmiah dan sekaligus menunjukkan kebenaran korespoudensi. Untuk ha]-hal yang tidak bermakna, seperti: Tuhan, jiwa, abadi, dan norma dengan menggunakan metode verifikasi menghasilkan kebenaran yang tidak dapat dibuktikan, karenanya dimasukan ke dalam wilayah bukan ilmu pengetahuan.Popper, dalam bukunya The Logic of Scientdic Discovery lebih menitikberatkan kepada cara kerja ilmu-ilmu pengetahuan alam dan kemudian dikembangkan lebih jauh mengenai ilmu pengetahuan yang objektif dalam bukunya Objective Knowledge atau dikenal dengan konsep ?tiga dunia?. Pemikiran Popper mengenai demarkasi ilmu pengetahuan, adalah: suatu pernyataan dapat diuji, apakah ada dalam wilayah ilmu pengetahuan atau bukan? Tidak melalui metode verifikasi melainkan menggunakan metode falsifikasi. Artinya, suatu teori yang dapat disangkal dengan pengalaman.Thomas S. Kuhn, dalam bukunya the Structure of Scientific Revolutions menolak pandangan Popper yang dianggapnya tidak sesui dengan fakta. Menurut Kuhn tidak pernah terjadi upaya empiris melalui proses falsiflkasi suatu teori, melainkan terjadi melalui satu perubahan yang sangat mendasar atau Inelalui suatu revolusi ilmiah. Paradigma ilmiah adalah sebuah model untuk pengembangan ilmu pengetahuan normal dan dirasakan memuaskan dalam menjelaskan fenomena yang terjadi. Paradigma Kuhn, memiliki kepentingan pragmalis dan bersifat instrumental, dalam pengertian memberi tuntunan model untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya.Jurgen Habermas, berpendapat kebenaran pernyataan dengan mencari kesesuaian dengan realitas the correspondence theory of truth) dan kebenaran yang diperoleh dengan melihat hubungan (correspondence), keteguhan (coherence) dan konsistensi antara pemyataan yang satu dengan pemyataan yang lain, semuanya amat ditentukan oleh paradigma berpikir tunggal subjek rasio. Inilah yang oleh Habermas, dalam bukunya The Theory of Communicative Action, dikatakan ada kekuasaan lain yang disembunyikan, dan kekuasaan itu adalah bentuk dari paradigma ganda sebagai pemahaman timbal balik melalui kebenaran intersubjektivitas.Habermas mengatakan untuk mencapai masyarakat komunikatif yaitu masyarakat yang komunikasinya terbuka dan berkedudukan sejajar, dapat mempertahankan dan memiliki sebuah ruang bebas dari diktatur dan pemaksaan, anggota-anggota masyarakatnya toleran serta menghormati martabat semua anggotanya sebagai manusia bersama-sama mewujudkan kemampuan berkomunikasi dengan sejajar disertai bebas dari tekanan-tekanan.Habermas, berpandangan bahwa tindakan komunikasi (communicative action) adalah jalan yang diterima sebagai sarana untuk menciptakan masyarakat yang komunikatif. Paradigma timbal balik atau masyarakat komunikasi, dapat terwujud jika semua agen yaitu: ilmu pengetahuan, pemerintah, ilmuwan, dan tokoh-tokoh masyarakat seoara sadar menjadi peserta dalam melakukan tindakan komunikasi untuk tidak mengejar kepentingan-kepentingan individual (seperti dalam masyarakat kapitalis) tetapi berupaya untuk mencapai keberhasilan dalam menyeimbangkan semua kepentingan untuk mencapai tujuan bersama. |