:: UI - Disertasi Open :: Kembali

UI - Disertasi Open :: Kembali

Netralitas birokasi dalam politik: Studi kasus tentang netralitas PNS dalam pemilihan kepala daerah Sulawesi Selatan tahu 2007 dan Banten tahun 2006

Sudiman; Burhan Djabir Magenda, promotor; Maswadi Rauf, co-promotor; Bambang Shergi Laksmono, examiner; Valina Singka Subekti, examiner; Miftah Thoha, examiner; Isbodroini Suyanto, examiner; Chusnul Mar`iyah, examiner; Julian Aldrin Pasha, examiner (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009)

 Abstrak

Relasi birokrasi dengan politik di Indonesia selalu mengalami Huktuatif. Pada masa Orde Baru, dengan kebijakan monoloyalitasnya, mesin birokrasi (baca: PNS) senantiasa dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk melakukan mobilisasi politik, dalam rangka mcndukung kekuatan status quo. Setelah rezim Orde Baru jatuh, dan digantikan oleh era reformasi tahun 1998, terjadilah perubahan sistem politik yang sangat fundamental, terutama menyangkut hubungan pusat dan daerah. Dari pola yang sentralistik, menjadi lebih otonom dan terdesentralisasi. Demikian juga dengan pemilihan kepala daerah yang semula dipilih oleh DPRD, menjadi dipilih Iangsung oleh rakyat. Perubahan ini disatu sisi memberikan arti positif yaitu untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat, tetapi disisi lain adalah terfragmentasikannya PNS kedalam kepentingan politik praktis.
Penelitian disertasi ini berupaya melihat bagaimana pelaksanaan dari netralitas birokrasi dalam kontestasi politik lokal yaitu pemilihan kepala daerah pasca Orde Baru. Studi kasus yang dipilih adalah pemilihan Gubemur Sulawesi Selatan dan Gubernur Banten. Permasalahan utama yang ingin diketahui adalah (i) Bagaimana implementasi netralitas PNS dalam pilkada Sulsel dan Banten, (ii) apa bentuk terjadinya pelanggaran netralitas PNS dalam Pilkada Sulsel dan Banten, dan (iii) apa dampak dari pelanggaran netralitas PNS terhadap (i) hasil Piikada, (ii) pelayanan publik, dan (iii) perubahan jabatan structural di kedua provinsi tersebut.
Metodologi penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indepth interview), sludi dokumentasi (library research), Focused Group Discussion (FGD), dan media review.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pada kedua kasus Pemilihan Gubernur di Sulawesi Selatan dan Banten, hampir semua mesin birokrasi selalu dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaannya. PNS banyak melakukan pelanggaran dan terlibat dalam politik praktis, sehingga hasil pilkada menuai gugatan dan menyebabkan tidak berjalannya sistem pembinaan pegawai (merit sysrem) Serta tidak optimalnya pelayanan publik. Ada faktor intemal yang mempengaruhi netralitas birokrasi yaitu sentimen primordialisme, logika kekuasaan. Secara ekstemal adalah adanya ambiguitas regulasi yang membuat birokrasi menjadi tidak netrai dan independen. Faktor primordialisme lebih kepada kedekatan etnisitas, kesukuan dan agama. Sedangkan faktor Iogika kekuasaan dikarenakan adanya ketidakpastian sistem dalam penjenjangan karir seorang PNS. Ada sebuah spekulasi politik dan kekuasaan yang diharapkan dari PNS yang memberikan dukungan politik kepada kontestan pilkada, yaitu akan meningkatkan karir di birokrasi ketika calon yang didukung menang. Hal yang sama juga terjadi dalam pilkada Banten, dimana ada shadow stare yaitu kekuatan diluar birokrasi yang mampu mengendalikan birokrasi. Kekuatan dominan muncul dari kelompok jawara dan pemilik modal yang memilki akses politik dengan pusat kekuasaan.
Penelitian ini juga menjelaskan bahwa liberalisasi dan reformasi politik, ternyata tidak diikuti oleh reformasi perubahan ditingkat regulasi. Pada satu sisi PNS diharapkan bersikap professional, akan tetapi dalam penjenjangan karirnya, karir PNS sangat ditentukan oleh pejabat Pembina PNS, dalam hal ini Gubernur, Bupati atau Walikota. Sementara mereka kepala daerah adalah pejabat politik yang dipilih melalui mekanisme politik. Oloh sebab itulah kepala daerah torpilih dari partai politik, memiliki kekuasaan yang sangat kuat (powerfull authority) untuk menarik PNS dalam politik praktis.
Faktor budaya politik dan budaya birokrasi di Indonesia temyata tidak sejalan dengan proses liberalisasi politik dan system demokratisi secara langsung. Pada masyarakat yang masih menganut patronase politik dan budaya feodalislik, netralitas birokrasi monjadi sesuatu yang sangat utopia. Pola hubungan patron-client serta politik balas jasa, membuat posisi PNS menjadi lebih mudah torkooptasi oloh kepentingan polilik rezim tingkat lokal. Implikasi teoritis dari penelitian ini adalah dekonstruksi konsop birokrasi tentang makna profesionalitas, netralitas, rasionalitas. Konstruksi teoritik Weber tentang birokrasi yang sangat ideal, seolah menatlkan adanya intervensi politik. Padahal birokrasi yang ada seringkali dihasilkan dari proses politik. Sedangkan konsep Carino tentang ascendancy dan sublasi birokrasi, Iebih realistis dan empiris dalam melihat persoalan birokrasi. Carino mellhat bahwa birokrasi tidak steril dari intervensi politik, karena birokrasi merupakan produk dari proses politik melalui mandar pemilihan. Oleh sebab itu pejabat politik dalam sebuah birokrasi dari sebuah produk mandat pemilihan, akan membuat birokrasi berada dalam posisi tarik menarik dengan kepentingan politik.
Hasil penelitian ini secara khusus menegaskan bahwa sebuah modernitas dalam kultur budaya birokrasi dan budaya politik masyarakat seperti yang dipahami dan diterapkan oleh negara maju, ketika diimplementasikan pada negara berkembang dengan segala dinamika internalnya, harus mengalam re-intepretasi dan indegeneisasi. Ada konteks dan nilai-nilai lokalitas yang mempengaruhi makna netralitas birokrasi.

The relationship between bureaucracy and politics in Indonesia always fluctuates. ln the New Order Era with mono loyalty policy, the bureaucratic machine was constantly manipulated by the ruling regime to conduct political mobilization in order to support the status quo. Alter the fall of the New Order regime, the Refomt Era reigned in 1998 with fundamental changes occurring in political system, particularly those concerning with the relationship between the central and local government, from centralistic to a more autonomous and decentralized system. Similarly, the local leaders were previously elected by the Regional House of Representatives, but they are now elected directly by their constituents. On one hand the change gives a favorable meaning that is to increase society?s political participation, the civil servants, on the other hand, are fragmented into practical political interest.
This dissertation endeavored to see to what extent the neutrality of bureaucracy in the local political contest, that is, the election of local leaders post the New Order regime. The opted case study was the Govemor?s election in South Sulawesi and Banten. The main issues to address wcrc: (i) what factors influenced the civil servants? neutral behavior in the political contest at local level, (ii) what l`om1 were civil servants? biases, and (iii) what were the impacts of the civil servants? biases towards (i) results of local leaders? election, (ii) public services, and (iii) the change in structural positions in those two provinces. This research used qualitative approach. The data were collected by using such techniques as in-depth interview, library research, focus group discussion, and media review.
The results of this study elaborated that nearly all bureaucratic machines in both cases of Govemcrs? election in South Sulawesi and Banten were manipulated by the rulers to prolong their authority. The were so many civil servants breaking the rules and involving in the practical politics that the results of regional leaders' election were claimed. This made the civil servant?s career development with the merit system could not be implemented. There were internal factors influencing the neutrality of bureaucracy, such as primordial sentiment, the logic of power. Externally, there were ambiguous regulations that made the bureaucracy bias and independent. The primordial factors inclined towards the proximity of ethnics, race and religions. Whereas the logical power was applied because there was the inconsistent system in the civil service career path. There was a political and power speculation from the side of civil servants who were expected to provide political support to the contestant of the local leaders? election, that is, the feasibility of improving their career in the bureaucracy when their candidates won. Similarly, Banten had shadow state, namely, the power outside bureaucracy that was able to control bureaucracy. The dominant power emerged from groups of the "jawara? and investors that possessed political access to central power.
The research also elaborated that political liberalization and reform was, in fact, not followed by the reform at regulation level. On one hand the civil servants were expected to have professional attitude in their career path. On the other hand, they are very much dependent on the civil service authorized officials, in this context, the Govemor, the Regent or the Mayor who are political officials elected by political mechanism. Therefore the elected local leaders Horn the political party hold a powerful authority to retain the civil servants in practical politics.
Political and bureaucratic culture factors in Indonesia were, in fact, directly incompatible with the process of political liberalization and democratic system. In the society still adopting political patronage and feudalistic culture, bureaucratic neutrality remained very utopian. The relationship pattem of patron-client and in-return-favor politics made the civil servants? position vulnerable to be co-opted by the interest of political regime at local level.
The theoretical implication of the research was the deconstruction ofthe concept of bureaucracy conceming with the meaning of professionalism, neutrality, rationality. Weber?s theoretical construction about bureaucracy is very ideal. lt seemingly ignores the availability of political intervention. The fact is that the bureaucracy is often produced by the political process. Carino?s concept about bureaucracy ascendancy and sublation is more realistic and empirical in viewing the bureaucratic issues. Carino understands that bureaucracy is not free from political intervention because bureaucracy is the product of political process based on the election mandate. Therefore, a political ofiicer in a bureaucracy elected based on election mandate makes the bureaucracy in the position of vulnerably being directed to meet the political interests.
The results of this study particularly elaborated that modernization in the culture of bureaucracy and that of society politics as understood and applied by the developed countries had to undergo re-interpretation and indigenousness when implemented in the developing countries with all their intemal dynamics. There were contexts and local values that influenced the meaning of bureaucracy neutrality.

 File Digital: 1

Shelf

 Kata Kunci

 Metadata

No. Panggil : D978
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : xvii, 218 pages ; 30 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D978 07-17-885659883 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20426605