Tulisan ini mengelaborasi strategi penghentian perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat melalui pedekatan nilai budaya lokal yang diinternalisasikan melalui pendidikan formal. Realitas perkawinan anak yang masih banyak terjadi secara nyata telah menghancurkan masa deopan anak sebagai generasi bangsa. Praktik ini tidak hanya abai terhadap hak hak dasar anak, namum juga secara tidak adil berlindung di bawah nama agama dan adat. Demikian halnya dengan praktik perkawinan anak di NTB yang terjadi melalui mekanisme merariq, tidak hanya sarat hubungannya dengan pelanggaran HAM anak, namun juga menjadikan posisi perempuan yang diapresiasi dalam nilai-nilai adat Sasak menjadi tidak bermakna. Lunturnya pemahaman masyarakat atas nilai-nilai adat Sasak dalam praktik merariq ini menjadikan merariq dituding memiliki kontribusi dalam melanggengkan praktik perkawinan anak. Pdahal jika ditelisik secara lebih dalam, hukum adat Sasak memberikan otonomi bagi perempuan dalam pengambilan keputusan perkawinan. Hanya saja dalam konteks perkawinan anak, otonomi ini tidak difungsikan dan diapresiasi, namun justru dimanfaatkan dan disalahgunakan melalui kerentanan anak. Melalui pendidikan hukum adat merariq yang diintegrasikan dalam muatan lokal sekolah, nilai-nilai positif adat merariq diajarkan sebagai upaya penguatan kemampuan anak dalam pengambilan keputusan demi terpenuhinya hak dirinya sebagai anak, sekaligus secara khusus untuk membentengi anak dari jerat perkawinan yang merugikan |