Sebagai sebuah organisasi, Muhammadiyah mempunyai peran dalam gerakan antikorupsi di Indonesia. Sejak transisi reformasi 1998 sampai saat ini, Muhammadiyah telah melakukan banyak agenda dalam memperkuat gerakan antikorupsi termasuk melalui berbagai diskusi, seminar, penelitian, dan kampanye melalui talkshow radio dan televisi. Pada tahun 2006, Muhammadiyah juga mengeluarkan sebuah fatwa tarjih yang bernama Fikih Antikorupsi. Keterlibatan Muhammadiyah dalam gerakan antikorupsi kemudian digerakkan oleh Pemuda Muhammadiyah dengan program Madrasah Antikorupsinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Muhammadiyah melakukan konstruksi legitimasi dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Metodologi yang digunakan adalah metodologi kualitatif dengan pendekatan teori Institusionalisme Organisasional (IO) untuk melihat bagaimana konstruksi legitimasi secara internal dan eksternal (field). Secara internal, teori IO memberi kerangka legitimasi yang dikonstruksi berdasarkan pada tiga aspek, yakni kultural organisasi, struktur sosial organisasi, dan relasi kuasa di dalam organisasi. Sementara di arena keberadaan, pendekatan IO menekankan penyebaran institusi. Penelitian ini memperlihatkan bahwa secara internal, konstruksi legitimasi Muhammadiyah sangat didukung oleh faktor kultural organisasi (nilai, norma, dan aturan/tradisi), dan struktur sosial organisasi Muhammadiyah (otoritas, endorsement, propriety dan routines). Sementara di sisi relasi kuasa, terdapat pertarungan kepentingan antara kelompok progressif yang memperjuangkan gerakan antikorupsi dengan kelompok status quo dan kelompok politik yang cenderung resisten dengan gerakan antikorupsi Muhammadiyah. Sementara di arena keberadaan (field), melahirkan tiga tipologi aliansi gerakan antikorupsi, yakni aliansi strategis, aliansi programatif, dan aliansi taktis. Proses penyebaran institusi yang dilakukan Muhammadiyah cenderung melalui pendekatan mimetik dan normatif, yang menghasilkan dua pola, yakni isomorphisme dan polimorphisme. As an organization, Muhammadiyah has a role in the anti-corruption movement in Indonesia. Since the democratic transition of the 1998, Muhammadiyah has carried out many agendas in strengthening the anti-corruption movement, including through discussions, seminars, research, and campaign through radio and television talk shows. In 2006, Muhammadiyah also issued a fatwa that called Fikih of Anticorruption. So far, Muhammadiyah involvement in the anticorruption movement is implemented by Pemuda Muhammadiyah with its anticorruption program. This study aims to analys how Muhammadiyah develops the construction of legitimacy in the process of corruption eradicating in Indonesia. This research uses the qualitative methodology. To understand how the construction of legitimacy both internally and externally (field), the study uses the theory of Institutionalism Organizational (IO). Internally, IO provides a framework of legitimacy, constructed based on three aspects: the cultural of organization, social structure of the organization, and power relations within the organization. While in the field, IO emphasizes the spread and control of the institution. This result of the study shows that internally, the construction of the legitimacy of Muhammadiyah is strongly supported by the cultural of organization factors (values, norms, and rules/traditions), and the social structure of the organization (authority, endorsement, propriety and routines). Meanwhile, the power relation within Muhammadiyah, there is a conflict of interests between "progressive groups" fighting for anti-corruption with the "status quo and the political groups" that tend to be resistant to the anti-corruption movement. In the field, there are three typologies of the anti-corruption alliance: the strategic alliance, the programatif alliance, and tactical alliances. The process of institutional control and spread of Muhammadiyah tend to go through mimetic and normative approach, which resulted in two patterns: isomorphism and polimorphism. |