Full Description

Cataloguing Source LibUI ind rda
Content Type text (rdacontent)
Media Type unmediated (rdamedia); computer (rdamedia)
Carrier Type volume (rdacarrier); online resource (rdacarrier)
Physical Description xi, 84 pages : illustration ; 28 cm
Concise Text
Holding Institution Universitas Indonesia
Location Perpustakaan UI, Lantai 3
 
  •  Availability
  •  Digital Files: 1
  •  Review
  •  Cover
  •  Abstract
Call Number Barcode Number Availability
T1557 15-17-230527709 TERSEDIA
No review available for this collection: 20438825
 Abstract
ABSTRAK
Dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi hingga saat ini, yang di mulai dengan jatuhnya nilai tukar mata uang Rupiah pada pertengahan tahun 1997, menyebabkan hancumya sebagian besar dunia usaha di Indonesia. Tidak terkecuali dampaknya terhadap Pertamina sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pengadaan bahan bakar minyak dalam negeri, hal ini dikarenakan Indonesia masih mengimpor minyak mentah dari luar negeri khususnya minyak yang berasal dari negara-negara Arab, yang mempunyai kandungan gas buangan lebih rendah dan minyak yang dihasilkan oleh Pertamina (Indonesia). Bahkan diprediksikan dalarn 10 tahun mendatang Indonesia akan menjadi net importir untuk bahan bakar minyak dunia, hal ini disebabkan semakin tipisnya cadangan sumur minyak yang ada di daerah-daerah.

Hal tersebut di atas mendesak Pertamina mencari alternatif energi lain untuk menggantikan minyak bumi tersebut, baik untuk kebutuhan energi masyarakat maupun sebagai penghasil devisa untuk negara. Cadangan gas bumi yang cukup besar di bumi Indonesia mendorong Pertamina menekan investor asing untuk pendanaan eksplorasi gas tersebut. Selain itu Pertamina juga harus bekerja sama dengan para kontraktor asing yang memiliki teknologi eksplorasi yang canggih dan efisien, hal ini penting mengingat gas yang diambil untuk bisa di jual ke luar negeri hanya efisien secara ekonomis didistribusikan dengan pipa sepanjang maksimum 4000 kilometer, selebihnya harus dicairkan melalui proses hidranisasi sehingga dapat diangkut dengan kapal tanker. Eksplorasi gas ini sebenarnya sudah benlangsung dari awal 1980-an, hanya saja kapasitas dan biaya yang dibutuhkan serta teknologi yang digunakan tidak sebesar sekarang.

Dalam hal mencari pembiayaan eksplorasi tersebut Pertamina terbentur kepada beberapa hal terutama menyangkut ketentuan Undang-undang S tahun 1971 yang mengatur Pertamina sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pengadaan dan distribusi BBM di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah retensi 5% yang diberikan oleh Pemerintah untuk setiap hasil penjualan produk dari suatu proyek, hal ¡ni memaksa Pertamina untuk mencari pembiayaan yang tidak melibatkan asset Pertamina sebagai jaminan pembiayaan yang Iazimnya berlaku.

Dalam perkembangarinya, pembiayaan yang dipilih adalah pendanaan proyek yang tidak melibatkan collateral tambahan untuk menjamin pembiayaan proyek. Pendanaan ini sangat bergantung kepada kekuatan cash flow yang digunakan sebagai pengembalian pinjaman dan bunga proyek. Penentuan skema pembiayaan juga mempunvai peranan penting khususnya bagaimana mengatur arus kas yang digunakan sebagai sumber pelunasan. Skema Trustee Borrowing Scheme sangat membantu Pertamina sebagai kordinator/manajemen dalam pembiayaan eksplorasi gas Bontang (Bontang LNG Reability Enhancement-BLRE).

Dari analisa yang dilakukan pada karya akhir ini disimpulkan bahwa proyek BLRE yang memakan biaya USD 303 juta ini dan melibatkan para lender komersial dunia, memberikan nilai tambah finansial yang rendah kepada Pertamina sebagai penanggung jawab proyek BLRE ini. Dengan pendapatan hanya dari retensi Pemenintah sebesar 5% dari total hasil penjualan gas tersebut maka Pertamina secara keseluruhan tidak mendapatkan manfaat yang berarti. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa proyek ini tidak sepenuhnya full recourse, dalam artian hasil proyek (cash inflow) membiayai semua kewajiban yang timbul akibat dari produksì proyek. Pertamina sebagai sponsor harus bertanggung jawab bila terjadi penurunan harga yang dapat menyebabkan terganggunya cash inflow proyek, di mana terlihat dari reserve account yang harus tetap dijaga dengan nominal tertentu.

Dari beberapa kenyataan di atas dapat kita lihat bagaimana sebenarnya resiko (biaya) yang ditanggung oleh Pertamina lebih besar bila dibandingkan dengan pendapatan (retensi 5%) yang diterima. Sehingga perlu terobosan baru dalam skema pembiayaan proyek BLRE ini.

Salah satu yang penting adalah bagairnana Pertamina merubah visi bisnis seperti yang diterapkan saat ini, yang hanya menjadi kordinator dan manajemen proyek, menjadì pemain yang lebih strategis sehingga mendapat nilai tambah secara nyata. Memposisikan perusahaan menjadi intermediary antara produsen (PSC) dan pembeli luar negeri dapat memberikan margin tambahan kepada Pertamina. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, PSC sebagai produsen gas yang mempunyai komposisi bìaya at cost (semua pendapatan dinyatakan dalam biaya produksì) menjual bahan baku gas tersebut kepada Pertamina, yang kemudian oleh Pertamina diolah menjadi bahan setengah jadi (LNC3 atau Petrochemical gas) dan baru dijual kepada pembeli luar negeri, sehingga dalam skema besar tersebut resiko yang diterima oleh Pertamina seimbang dengan pendapatan yang diperoleh.

Kelayakan proyek didukung dengan perhitungan serta analisa yang mencakup kepada economic analysis, financial analysis dan analisa kualitatif yang memberikan fakta perhitungan bahwa pendanaan proyek BLRE ini layak untuk dibiayai. Hal penting lainnya adalah price sensitivitas yang dilakukan cukup ekstnim yaitu 40% dibawah harga pasar, namun dengan perhitungan dengan formula harga yang telah disepakati, cash inflow tetap dapat menjamin pembayaran kewajiban proyek. Selain itu juga dibahas interest rate parity, yaitu menjelaskan alasan penggunaan sukubunga USD yang secara kasar lebih besar dari pembiayaan mata uang kuat lainnya seperti Jepang Yen dan Pounsterling.

Pada akhirnya tulisan ¡i i diharapkan membuka hal-hal yang dapat meningkatkan nilai perusahaan Pertamina, terutama dalam hal pemutusan pembiayaan proyek-proyek besar baik yang dilakukan oleh Pertamina maupun industri migas nasional pada umumnya, Hal ini juga penting diketahui oleh institusi pembiayaan baik komersial seperti bank umum, maupun institusi finansial iainnya, agar dapat lebih terbuka melihat pembiayaan yang dilakukan Pertamina, dimana pengembalian proyek tidak melulu dan adanya colateral tambahan dari perusahaan itu saja, namun mengetahui bahwa pembiayaan dengan menggunakan project finance lebih menguntungkan dan cocok untuk pembiayaan proyek pada saat krisis ini, khususnya dalam pembiayaan proyek energi.