:: UI - Tesis Membership :: Kembali

UI - Tesis Membership :: Kembali

Industri wooden furniture Indonesia di dalam perdagangan internasional

Handoko P. Gondokusumo; Rizal Ramli, supervisor; Wiryawan Pasek ([Publisher not identified] , 1992)

 Abstrak

ABSTRAK
Untuk dapat mengimbangi kenaikan jumlah penduduk serta
untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya, setiap negara
perlu meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Dilain pihak, upaya
peningkatan pertumbuhan ekonami selalu akan menimbuikan
peningkatan permintaan devisa. Peníngkatan kebutuhan devisa
diperlukan untuk membiayai pembelian barang dan jasa, baik
untuk investasi maupun untuk konsumsi. SaIah satu cara untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan tersebut adaiah dengan
meningkatkan ekspor. Dengan demikian bagi negara berkembarig
yang sedang membangun seperti Indonesia ekspor mutlak
diperlukan.
Sampai dengan tahun 1984/1985 ekspor Indonesia masih
didominasi oleh ekspor migas, yaitu mencapai 68% dari total
ekspor. Namun dengan semakin turunnya harga migas dipasaran
dunia, pemerintah berusaha meningkatkan ekspor nonmigas dengan
berbagai cara. Pada tahun 1990 ekspor nonmigas Indonesia telah
meningkat menjadí 56% dari total ekspor. Sementara peranan
pendapatan migas turun dari 54% menjadi 37% dan total
anggaran pendapatan pada tahun 1990/1991.
Salah satu komoditi yang menjadi penunjang utama sektor
nonmigas adalah dari produk?produk hasil kayu. Ekspor hasil
kayu pada tahun 1990 mencapai 23% dari total ekspor non migas
Indonesia dan menduduki peringkat pertama. Namun keberhasilan
ekspor hasil kayu tersebut masih didominasi oleh produk?produk
primer yang rendah nilai tambahnya dan rnempercepat laju
kerusakan hutan. Oleh karena itu pemerintah berusaha untuk
meningkatkan ekspor dan produk?produk sekunder dengan nilai
tamban yang lebih tinggi, antara lain dengan menghentikan
ekspor kayu gelondongan dan pembatasan ekspor kayu gergajian.
Salah satu dan produk sekunder yang tampaknya cukup
prospektif adaìah wooden furniture.
Pasar wooden furniture Indonesia yang terutama adalah
kenegara?negara maju, dengan jumiah terbesar ke Jepang,
Amerika Senikat, Eropa Barat dan negara-negara NIE seperti
Taiwan, Hongkong dan Singapura. Negara importir yang banyak
mengimpor dari negara berkembang adalah Jepang dan Amerika
Serikat. Sedangkan di Eropa Barat mayoritas masih dikuasai
oleh intra industry trade. Permintaan akan wooden furniture
dari negara?negara tersebut terus meningkat setiap tahun,
sementara produksi didalam negerinya tidak dapat mengimbangi
kenaikan permintaan tersebut. Sehingga peluang pasar yang ada
cukup potensial.
Kesulitan yang dialami oleh produsen dinegara?negara maju
adalah semakin sulitnya memperoleh bahan baku dan upah tenaga
kerja yang tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut banyak
perusahaan yang menerapkan teeknoIogi dan peralatan produksi
yang canggih, agar dapat. meningkatkan efisiensinya. Untuk
perusahaan berskala menengah kebawah langkah yang diambil
adalah spesialisasi, terutama produsen di Eropa Barat.
Kelompok produk yang diekspor Indonesia rneliputi : chair
and other seats of wood or wicker-work (SITC 821 11 10), parts
of chairs and seats of wood and wicker-work (SITC 821 19 10),
office furniture of wood (SITC 821 92 40), other- furniture of
wood (SITC 821 92 90), parts of wooden drawing table (SITC 821
99 21). Jumlah ekspor terbesar adalah untuk SITC 821 11 10.
Pertumbuhan ekspor nya mencapai 88% per tahun, pangsa
pasar relatif meningkat terus, dan konsentrasi pasar semakin
menurun. Hal tersebut, menunjukkan bahwa produk wooden
furniture Indonesia cukup mempunyal daya saing dalam menembus
pasar internasjonal, terutama untuk segmen kelas menengah
kebawah. Namun secara absolut, pangsa pasar Indonesia dipasar
dunia masih cukup kecil yaitu hanya 0,71%.
Produk yang diekspor adaìah untuk segmen pasar kelas
menengah, yaitu dengan local wood content sekitar 40%. Seymen
tersebut memang merupakan segmen terbesar didalam negeri
sendiri. Disain, dan jenis produk yang diekspor sebagian, besar
berdasarkan permintaan pembeli. Sebagian besar produk yang
diekspor tidak diberi merk oleh produsen, tetapi oleh pembeli
diluar negeri.
Pasar wooden furniture didunia adalan pasar persaingan
sempurna (perfect competition). Oleh karena itu produsen
bertindak sebagai price taker. Masing?masing produk sudah ada
bracket harganya. Jalur pemasaran masih melaiui agen diluar
negeri atau melalui buying groups, sedangkan proses- didalam
negeri ada yang melaiui trading company atau dilakukan
sendiri. Promosi dilakukan melaiui media masa (ikian) atau
dengan ikut serta dalam pameran internasional.
Peralatan dan teknologi produksi yang digunakan sebagian
besar masih konvensional dan menggunakan sistim manual yang
tidak fleksibel. Dengan pesanan dan pembeli yang beragam maka
ke tidak fleksibelan tersebut sangat menurunkan efisiensi dan
produktivitas.
Usaha-usaha peningkatan ekspor dapat dilakukan dengan
meningkatkan volume ekspor atau meningkatkan nilai produk yang
diekspor. Tantangan terhadap usaha?usaha tersebut antara lain
adaiah persaingan dari negara?negara eksportir utama seperti
Taiwan, Korea, Hongkong, Singapura dan dan negara?negara yang
sedang mengembangkan industri furniture nya seperti Malaysia,
Filipina, Thailand dan RRC. Selain itu semakin efisiennya
industri wooden furniture dinegara?negara importir sendiri
dapat menjadi hambatan bagi ekspor Indonesia. Selain itu
peningkatan volume ekspor dan peningkatan nilai tambah masih
mengalami hambatan dari biaya dana serta biaya?biaya lain yang
tinggi. Meskipun pemerintah terus mendepresiasikan nilai mata
uang rupiah, namun inflasi dan suku bunga yang tinggi
cenderung meningkatkan biaya?biaya.
Dengan harga jual produk yang kompetitif serta biaya yang
cenderung meningkat maka produsen tidak rnempunyai insentif
yang cukup menarik untuk melakukan ekspansi karena laba yang
diperoleh semakin menurun. Insentif yang ada bagi produsen
dalam melakukan ekspor selama ini antara lain untuk mencari
pasar yang ìebih luas karena persaingan yang ketat didalam
negeri, perputaran dana yang lebih cepat, jenis produk yang
lebin sederhana dan memanfaatkan kelebihan kapasitas produksi.
Daiam kondisi demikian produsen tidak rnempunyai komitmen dalam
penciptaan faktor?faktor produksi (factor creation) sehíngga
dikhawatirkan daya saing produk Indonesia tidak dapat
mengikuti perubahan?perubahan tuntutan pasar.
Untuk mengatasi hal tersebut kerja sama antara pengusaha
dan pemerintah mutlak diperlukan. Pemerintah diharapkan dapat
memberi tambahan insentif dengan membantu penciptaan faktor
faktor pendukung produksi. Misalnya dengan mendirikan
fasilitas pendidikan dan latihan serta fasilitas penelitian
dan pengembangan yang memadai. Dari píhak pengusaha diharapkan
dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas dengan
nelakukan spesialisasi untuk beberapa produk saja dan kerja
sama antara perusahaan kecil dengan perusahaan besar dalam
bentuk subkontraktor. Untuk itu diharapkan ada peranan
asosiasi yang Iebih besar dalam menggalang kerja sama ini.

 File Digital: 1

Shelf
 T1940-Handoko P Gondokusumo.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

No. Panggil : T-Pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : [Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 1992
Program Studi :
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resource
Deskripsi Fisik : x, 172 pages ; illustration : 28 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
T-Pdf 15-17-862548382 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20439037