ABSTRAK Untuk dapat mengimbangi kenaikan jumlah penduduk sertauntuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya, setiap negaraperlu meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Dilain pihak, upayapeningkatan pertumbuhan ekonami selalu akan menimbuikanpeningkatan permintaan devisa. Peníngkatan kebutuhan devisadiperlukan untuk membiayai pembelian barang dan jasa, baikuntuk investasi maupun untuk konsumsi. SaIah satu cara untukmemenuhi peningkatan kebutuhan tersebut adaiah denganmeningkatkan ekspor. Dengan demikian bagi negara berkembarigyang sedang membangun seperti Indonesia ekspor mutlakdiperlukan. Sampai dengan tahun 1984/1985 ekspor Indonesia masihdidominasi oleh ekspor migas, yaitu mencapai 68% dari totalekspor. Namun dengan semakin turunnya harga migas dipasarandunia, pemerintah berusaha meningkatkan ekspor nonmigas denganberbagai cara. Pada tahun 1990 ekspor nonmigas Indonesia telahmeningkat menjadí 56% dari total ekspor. Sementara perananpendapatan migas turun dari 54% menjadi 37% dan totalanggaran pendapatan pada tahun 1990/1991. Salah satu komoditi yang menjadi penunjang utama sektornonmigas adalah dari produk?produk hasil kayu. Ekspor hasilkayu pada tahun 1990 mencapai 23% dari total ekspor non migasIndonesia dan menduduki peringkat pertama. Namun keberhasilanekspor hasil kayu tersebut masih didominasi oleh produk?produkprimer yang rendah nilai tambahnya dan rnempercepat lajukerusakan hutan. Oleh karena itu pemerintah berusaha untukmeningkatkan ekspor dan produk?produk sekunder dengan nilaitamban yang lebih tinggi, antara lain dengan menghentikanekspor kayu gelondongan dan pembatasan ekspor kayu gergajian.Salah satu dan produk sekunder yang tampaknya cukupprospektif adaìah wooden furniture. Pasar wooden furniture Indonesia yang terutama adalahkenegara?negara maju, dengan jumiah terbesar ke Jepang,Amerika Senikat, Eropa Barat dan negara-negara NIE sepertiTaiwan, Hongkong dan Singapura. Negara importir yang banyakmengimpor dari negara berkembang adalah Jepang dan AmerikaSerikat. Sedangkan di Eropa Barat mayoritas masih dikuasaioleh intra industry trade. Permintaan akan wooden furnituredari negara?negara tersebut terus meningkat setiap tahun,sementara produksi didalam negerinya tidak dapat mengimbangikenaikan permintaan tersebut. Sehingga peluang pasar yang adacukup potensial. Kesulitan yang dialami oleh produsen dinegara?negara majuadalah semakin sulitnya memperoleh bahan baku dan upah tenagakerja yang tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut banyakperusahaan yang menerapkan teeknoIogi dan peralatan produksiyang canggih, agar dapat. meningkatkan efisiensinya. Untukperusahaan berskala menengah kebawah langkah yang diambiladalah spesialisasi, terutama produsen di Eropa Barat. Kelompok produk yang diekspor Indonesia rneliputi : chairand other seats of wood or wicker-work (SITC 821 11 10), partsof chairs and seats of wood and wicker-work (SITC 821 19 10),office furniture of wood (SITC 821 92 40), other- furniture ofwood (SITC 821 92 90), parts of wooden drawing table (SITC 82199 21). Jumlah ekspor terbesar adalah untuk SITC 821 11 10. Pertumbuhan ekspor nya mencapai 88% per tahun, pangsapasar relatif meningkat terus, dan konsentrasi pasar semakinmenurun. Hal tersebut, menunjukkan bahwa produk woodenfurniture Indonesia cukup mempunyal daya saing dalam menembuspasar internasjonal, terutama untuk segmen kelas menengahkebawah. Namun secara absolut, pangsa pasar Indonesia dipasardunia masih cukup kecil yaitu hanya 0,71%. Produk yang diekspor adaìah untuk segmen pasar kelasmenengah, yaitu dengan local wood content sekitar 40%. Seymentersebut memang merupakan segmen terbesar didalam negerisendiri. Disain, dan jenis produk yang diekspor sebagian, besarberdasarkan permintaan pembeli. Sebagian besar produk yangdiekspor tidak diberi merk oleh produsen, tetapi oleh pembelidiluar negeri. Pasar wooden furniture didunia adalan pasar persaingansempurna (perfect competition). Oleh karena itu produsenbertindak sebagai price taker. Masing?masing produk sudah adabracket harganya. Jalur pemasaran masih melaiui agen diluarnegeri atau melalui buying groups, sedangkan proses- didalamnegeri ada yang melaiui trading company atau dilakukansendiri. Promosi dilakukan melaiui media masa (ikian) ataudengan ikut serta dalam pameran internasional. Peralatan dan teknologi produksi yang digunakan sebagianbesar masih konvensional dan menggunakan sistim manual yangtidak fleksibel. Dengan pesanan dan pembeli yang beragam makake tidak fleksibelan tersebut sangat menurunkan efisiensi danproduktivitas. Usaha-usaha peningkatan ekspor dapat dilakukan denganmeningkatkan volume ekspor atau meningkatkan nilai produk yangdiekspor. Tantangan terhadap usaha?usaha tersebut antara lainadaiah persaingan dari negara?negara eksportir utama sepertiTaiwan, Korea, Hongkong, Singapura dan dan negara?negara yangsedang mengembangkan industri furniture nya seperti Malaysia,Filipina, Thailand dan RRC. Selain itu semakin efisiennyaindustri wooden furniture dinegara?negara importir sendiridapat menjadi hambatan bagi ekspor Indonesia. Selain itupeningkatan volume ekspor dan peningkatan nilai tambah masihmengalami hambatan dari biaya dana serta biaya?biaya lain yangtinggi. Meskipun pemerintah terus mendepresiasikan nilai matauang rupiah, namun inflasi dan suku bunga yang tinggicenderung meningkatkan biaya?biaya. Dengan harga jual produk yang kompetitif serta biaya yangcenderung meningkat maka produsen tidak rnempunyai insentifyang cukup menarik untuk melakukan ekspansi karena laba yangdiperoleh semakin menurun. Insentif yang ada bagi produsendalam melakukan ekspor selama ini antara lain untuk mencaripasar yang ìebih luas karena persaingan yang ketat didalamnegeri, perputaran dana yang lebih cepat, jenis produk yanglebin sederhana dan memanfaatkan kelebihan kapasitas produksi.Daiam kondisi demikian produsen tidak rnempunyai komitmen dalampenciptaan faktor?faktor produksi (factor creation) sehínggadikhawatirkan daya saing produk Indonesia tidak dapatmengikuti perubahan?perubahan tuntutan pasar. Untuk mengatasi hal tersebut kerja sama antara pengusahadan pemerintah mutlak diperlukan. Pemerintah diharapkan dapatmemberi tambahan insentif dengan membantu penciptaan faktorfaktor pendukung produksi. Misalnya dengan mendirikanfasilitas pendidikan dan latihan serta fasilitas penelitiandan pengembangan yang memadai. Dari píhak pengusaha diharapkandapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas dengannelakukan spesialisasi untuk beberapa produk saja dan kerjasama antara perusahaan kecil dengan perusahaan besar dalambentuk subkontraktor. Untuk itu diharapkan ada perananasosiasi yang Iebih besar dalam menggalang kerja sama ini. |