ABSTRAK Masuknya kembali bank-bank asing di Indonesia setelah medio60-an dengan segala implikasinya yang berbareng dengn lahirnyaUndang-Undang Pokok Perbankan No. 14/1967 masih segar dalamingatan kita. Sekitar dua dekade yang lalu itu, perbankan nasionalumumnya dan sektor perbankan swasta khususnya mencatat sejarahtersendiri. Puluhan bank swasta berjatuhan terkena skorsingkliring. Ada yang berhasil bangkit kembali, namun banyak pulayang terpaksa keluar dan gelanggang. Kelemahan internal dalammanajemen bank-bank swasta cukup menonjol, dibarengi denganfaktor eksternal antara lain berupa tingginya bunga deposito padabank-bank pemerintah dengan subsidi dari Bank Sentral dankompetisi dari bank-bank asing yang membawa manajemen modern danmodal yang berskala besar. Ronde pertama seleksi alamiah tersebuttelah merontokkan sejumlah bank yang kemudian harus minggir darimedan bisnis perbankan. Babak kedua benlanjut lagi melalui proses merger di-awaltahun 1970-an. Berbagai keringanan fasilitas dan rangsangan dariBank Indonesia terhadap bank?bank yang merger, pada era ini telahberhasil menciutkan sejumlah bank swasta, yang sekaligusmengobati penyakit kekecilannya yang dialami sebelumnya. Bank-Bank yang kena caplok pun lambat laun dapat menikmati kemajuanproses merger tersebut melalui peningkatan volume usaha.peningkatan modal sendiri, tingkat laba dan sebagainya, sekaligus sasaran pemerintah untuk menyederhenakan iumlah bank swastamenjadi sekitar 30 bank, belum juga terwujud. Ronde berikutnya adalah deregulasi perbankan 1 Juni 1987yang justru mencetak kemajuan?kemajuan spektakuler. Pangsa pasarperbankan Swasta mampu meningkat hampir 2 kali lipat pada tahun1967 dibanding 5 tahun sebelumnya yang hanya sebesar 11,68%.Ronde berikut kita masuki babak baru yakni PAKTO 27 tahun 1988.Banyak sekali sasaran bidik yang ingin dicapai, antara lainmeningkatkan lebih lanjut mobilisasi dana masyarakat, ekspor nonmigas dan efisiensi. lembaga-lembaga keuangan dan perbankan. Bankasing kini tidak lagi dilarang beroperasi di luar Jakarta sepertiperiode sebelumnya melainkan sudah boleb beroperasi di 6 kotabesar di Indonesia. Sebagaiinaria lazimnya tuntutan deregulasinaka PAKTO 27 juga semakin mendorong kearah efisiensi danprofesionalisne, yang justru merupakan pilar-pilar utamaderegulasi. Efisiensi dan profesionalisne yang tinggi akanmemungkinkan bank tetap hidup dan berkembang di tengah kompetisiyang semakin dahsyat. Dapat dilihat betapa semakin sengitnyabank menarik nasabah dan tenaga profesional oleh bank?bank sejak1 Juni 1983, bahkan kadang-kadang dengan cara yang tidak etis.Bagaimanapun, setiap perubahan dan persaingan senantiasamemberikan implikasi dan dinamika baru. Tajamnya. persaingan,belakangan ini telah memacu bank-bank meningkatkan kreasinyaberupa produk/jasa bank baru. Sehingga nasabah dengan demikiandiberikan berbagai alternatif. Efisiensi dan profesionalisme yang tinggi akan dapat menekanBiaya overhead dan resiko pengembalian kredit bank yang selamaIni dianggap masih terlalu tinggi. Semakin sehat, efisien dantingginya profesionalisme perbankan , diharapkan dapat menekanbunga kredit yang masih terlalu mahal di negara kita. Dihadapkanpada kompetisi yang hebat dan bank-bank asing yang efisien dantingginya tingkat Proresionalismenya itu, maka bank-bank nasionaldidorong kearah skala yang memadai, baik dalam skala bisnisnya,kualitas tenaga kerja dan mutu pelayanannya. Dorongan ke arahmerger dalam arti yang sebenarnya yakni antar bank-bank yangsehat untuk membentuk skala bisnis yang lebih kuat akan semakinrelevan dewasa ini Ronde-ronde persaingan seusai PAKTO 27 cukupmenarik perhatian dan mengundang keluhan, paling tidak dari BadanPerkreditan Rakyat. Sekalipun legalitasnya sudah dipertegas,namun ruang geraknya semakin sempit, karena beroperasi dikecamatan-kecamatan terasa sangat sesak, sedangkan mau naik kebank bank umum haruc mampu engumpulkan dana Rp.10 milyar. Kalau kita lihat apa yang terjadi di negara-negara maju,Amerika Serikat misalnya, semakin banyaknya bank yang bangkrutSejak tahun 1983, hampir mencapai seperempat dari jumlah seluruhbank di sana. Hal ini berbareng dengan perubahan kondisi ekonomideregulasi di dunia pada umumnya. PAKTO 27 yang menuntutadanya perubahan-perubahan lebih mendasar terhadap perbankannasional kita,dengan demikian memerlukan pengawasan lebihcanggih lagi. Semakin jauh proses deregulasi, semakin ketatpengawasan yang diperlukan dan semakin besar pula tuntutan kearah efisiensi dan profesionalisme. Tugas pengawasan yang berada pada Bank Indonesia semakinberat, yang meliputi pula pengawasan terhadap alokasi kredit kegrup-grup perusahaan atau lebih dikenal dengan istilahkonglomerat dan di samping memantau pula efektifitas tugaspengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris pada setiap bankyang sampai saat ini menurut pengamatan penulis belum dapatdiandaikan sebagai pengawasan melekat. |