Filsafat dan Irfan pada periode awal pemikiran Islam tampak seolah-olah dua kutub berlawanan yang sulit, jika tidak dikatakan tidak mungkin, untuk dipertemukan. Untuk menyingkap hakikat, Filsafat lebih menitikberatkan akal diskursif sebagai instrumen, sementara Irfan lebih percaya kepada penyaksian intuitif (mukāasyafah) dan meragukan akal. Namun demikian, para filosof filsuf Muslim dengan kedalaman telaah mereka terhadap kedua ranah tersebut telah berusaha mengakhiri pertentangan dan mendamaikan keduanya. Semangat ini telah dimulai oleh seorang filosof filsuf besar, Suhrawardi, dengan pemikiran filsafat Iluminasionismenya (Ḥikmah Isyraqiyyah) dan menemukan bentuknya yang lebih sempurna di tangan seorang filosof filsuf ternama, Mulla Sadra, dengan Ḥikmah Muta’aliyahnya. Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan simpul-simpul interaksi pemikiran Filsafat Islam dan Irfan yang digagas oleh Mulla Sadra dalam teori-teorinya yang khas dan brillian. Ia berhasil memadukan berbagai pemikiran besar filosof filsuf dan ‘urafā’ dalam satu bangunan hikmah sehingga tercipta suatu keharmonisan yang saling menyempurnakan dari kedua ranah tersebut. |