:: Artikel Jurnal :: Kembali

Artikel Jurnal :: Kembali

Sultan Hamengku Buwono II: pembela tradisi dan kekuasaan Jawa

oleh Djoko Marihandono (Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008)

 Abstrak

Sejak usia muda, Sultan Hamengku Buwono II (HB II) telah menunjukkan pribadinya sebagai bangsawan Yogyakarta yang menjaga integritas dan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta. Ia menjadi musuh utama Belanda yang dianggap telah melakukan intervensi terlalu jauh dalam kehidupan kraton Yogyakarta yang menurunkan wibawa raja-raja Jawa. Setelah memegang tampuk pemerintahan tahun 1792, ia tetap menunjukkan tekadnya untuk menjunjung tinggi kebesaran tradisi dan kewibawaan Kesultanan Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan terjadinya benturan dengan tuntutan dan kepentingan para penguasa kolonial yang ingin memaksakan kehendaknya kepada raja-raja Jawa. Atas dasar itu, Sultan HB II selalu melawan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Sebagai akibat dari sikapnya itu, pemerintah kolonial menggunakan berbagai alasan untuk menurunkan tahtanya. Selama hidupnya, Sultan HB II mengalami dua kali penurunan tahta (tahun 1811 oleh Daendels dan 1812 oleh Raffles), bahkan dibuang sebanyak tiga kali sebagai hukuman yang dijatuhkan kepadanya (Penang 1812, Ambon 1817, dan Surabaya 1825). Pemerintah kolonial akhirnya harus mengakui kewibawaan Sultan HB II yang terdesak sebagai akibat dari pecahnya perang Diponegoro. Ia dibebaskan dari pembuangannya dan dilantik kembali menjadi raja di Yogyakarta. Sampai akhir hayatnya Sultan HB II tidak pernah mau bekerja sama dengan Belanda apalagi untuk menangkap Diponegoro atau menghentikan perlawanannya. Hingga kini masih banyak karya peninggalan Sultan HB II yang mengingatkan pada watak dan masa pemerintahannya. Baik karya sastra, karya seni maupun bangunan fisik mengingatkan pada kebijakan, tindakan dan watak Sultan HB II semasa hidupnya.

Since his younger age, Sultan Hamengku Buwono II indicated that he always refused the Dutch intervention in the sultanate?s palace of Yogyakarta. He became rival of the Dutch governments because of his opinion that the Dutch had intervented too much in the cultural and noble life?s sultanate of Yogyakarta. After his coronation as a sultan in Yogyakarta in 1792, he kept his mind to guard the Java?s glorious tradition and the traditional power of the Sultan. This condition caused a great conflict between the Sultan and the Dutch government. Sultan HB II tried to refuse all the intervention of Dutch Government. As consequences of his character, the colonial government proposed to replace the Sultan with the crownprince. During his life, he accepted twice decoronation (in 1811 by Gouvernor General Daendels and in 1812 by Leutnant General Raflles) and he was exiled three times (Penang in 1812, Ambon in 1817 and Surabaya in 1825). Finally, the Dutch Government recalled him to be a sultan in Yogyakarta to persuade all princes who supported Prince Diponegoro?s revolt. Unfortunately, till his death, he still refused to cooperate with the colonial government. To the present, there are many works of this sultan as: literary works, philosophy, arts dan physical buildings, which describes his characters toward the colonial government.

 File Digital: 1

Shelf

 Metadata

No. Panggil : PDF
Entri utama-Nama orang :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
ISSN : 24069183
Majalah/Jurnal : Makara Hubs-Asia
Volume : Vol. 12, No. 1, July 2008: Hal. : 27-38
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resource
Akses Elektronik : http://hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/view/134
Institusi Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 4, R. Koleksi Jurnal
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
PDF 03-19-132744234 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20441761