Sejarah panjang hubungan sosial budaya Indonesia dan Malaysia telah memperlihatkan bahwa kedua bangsa inimemiliki akar tradisi sosial-budaya yang sama. Ikatan emosional itu ternyata sama sekali tidak terganggu selepasPerjanjian London tahun 1824 yang disepakati pemerintah kolonial Inggris dan Belanda. Meskipun perjanjian ini secarapolitik telah membelah Kerajaan Melayu ke dalam dua wilayah politik yang berbeda, yaitu Singapura (Temasek) danJohor berada di bawah kekuasaan Inggris sedangkan Riau dan Lingga berada di bawah kekuasaan Belanda, hubungansosio-kultural masyarakat di wilayah semenanjung itu tetap berlangsung baik dan sama sekali tidak terganggu olehkeputusan politik kedua pemerintah kolonial itu. Bahkan, ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia, masyarakat diwilayah itu tetap mondar-mandir melakukan hubungan sosial, budaya, dan perdagangan. Gerakan budaya ternyatabegitu penting bagi masyarakat di kawasan ini. Hal itu pula yang terjadi menjelang kedua negara memperolehkemerdekaan.For a long period, the Indonesian and Malaysia relationship has proved the single root of socio-cultural tradition. Yet,the London Treaty 1824, an agreement between the British and Dutch colonials, failed to split the emotional bondbetween the two nations. Although this treaty successfully divided the Malay Kingdom into two different politicalregion, where Singapore (Temasek) and Johor was politically put under British rule while Riau and Lingga was putunder the Dutch, the socio-cultural communication among the people in those areas remained undisturbed by thepolitical decision of the two colonial rulers. Even, during the Indonesia-Malaysia confrontation period, the people werepersistently busy keeping their own business in the social, cultural and trade affairs. Hence, specifically since the dayprior to their independence, the cultural movement is considerably significant for the people in this region. |