Penelitian ini membandingkan antara praktik pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan modelDharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, dan di Hulu Langat, Malaysia. Oleh karena analisis perbandinganmenuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antarobyek, maka ketiga lokasimencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidakmempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yangseharusnya secara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan denganKabupaten/Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia. Pendekatan verstehenmenjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengantipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Di samping itu, berbagai key informandiperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketigapraktik bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengarah ke dalam praktikdesentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenuhnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengankarakter masing-masing. Praktik desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasiterritorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktikkan meskipun wacana akademik dan potensi sertakebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatanmikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi padaumumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpakupada desentralisasi teritorial semata. Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalamkerangka peningkatan kinerja pertanian dan pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanyaregime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar lebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasifungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda.This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency ofJembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at Nationaland State Level. Although the two countries differed in governmental arrangements, the locus used in this researchexperienced the same level of governments. Verstehen has been as a general framework of this research approach.Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods andanalyzed with multilevel tools. This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia werenot established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysiawhich is fully centralized through deconcentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigationmanagement in Indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both inIndonesia and Malaysia. Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at thegrassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in theirrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept offunctional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920. |