In the context past gross human rights violation cases in Indonesia, the President’s constitutionalauthority to propose amnesty law might by and large implicate legal and ethical aspects.Holistically, any forgiveness and oblivion against any human rights violators should consider thedevelopment and the dynamic of international criminal law, which arguably have been directedto an absolute individual criminal responsibility. Against this issue, this paper finds that based onlegal and ethical arguments, accompanied with various technical preconditions outlined in theBelfast Guideline on Amnesty and Accountability, an amnesty towards past gross human rightsviolators must be taken paradigmatically. Arguably, amnesty proceeding through an independentad hoc committee shall be able to challenge Indonesia’s transitional framework, namely: to workas a historian and a jurist. This suggests that the elements of amnesty, both procedural andsubstantial, need to work in the area of deliberative democracy that calls for public participationand the protection of human rights.Dalam konteks kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, kewenanganPresiden dalam memberikan amnesti dapat berimplikasi pada dua aspek, yakni: legal dan etik.Secara holistik, pemaafan dan pelupaan terhadap para pelanggar HAM pada masa lalu patutmempertimbangkan perkembangan dan dinamika hukum pidana internasional, yang mengarahpada pertanggungjawaban pidana secara absolut. Tulisan ini menyimpulkan bahwa logikaargumentatif secara legal dan etik, serta berbagai prasyarat teknis di dalam Belfast Guidelineon Amnesty and Accountability mengindikasikan bahwa amnesti terhadap pelanggar HAM masalalu harus dilakukan secara paradigmatik. Dalam hal ini, proses amnesti melalui komite ad hocyang mandiri dapat menjawab dua tantangan dalam kerangka kerja transisional di Indonesia,yakni: untuk bekerja sebagai sejarawan dan juga praktisi hukum. Dengan demikian, kebijakanamnesti mengisyaratkan bahwa elemen-elemen amnesti secara prosedural dan substantif wajibdijalankan dalam area demokrasi deliberatif yang menghendaki adanya partisipasi publik danperlindungan terhadap HAM. |