ABSTRAK Penelitian ini membahas mengenai hak kebebasan beragama dan berkepercayaan pada masyarakat penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Melalui UU No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama negara telah melakukan diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan, karena hanya enam agama saja yang diakui oleh negara. Pada saat melakukan observasi di Cigugur, Jawa Barat, ditemukan dampak negatif atas pengaturan tersebut yang dialami oleh para penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Mereka kesulitan mengakses hak-hak sipilnya, seperti hak untuk memeluk agama dan melaksanakannya, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas pelayanan publik akta perkawinan, akta anak serta identitas hukum berupa KTP , dan hak atas bantuan hukum. Akibatnya timbul konflik vertikal antara penghayat kepercayaan dengan pemerintah serta konflik horizontal antara sesama masyarakat. Penelitian ini juga melihat langkah penyelesaian sengketa yang dipilih oleh penghayat keperacayaan untuk menyelesaian konflik/sengketa yang dialaminya. Maka saran dari penelitian ini adalah, negara tidak perlu membedakan antara pemeluk agama resmi dan penghayat kepercayaan. Hal ini sebagai bentuk kewajiban negara untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak warga negaranya. Tanpa pembedaan maka penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dapat mengakses hak-hak sipilnya. ABSTRACT This research aims to discuss the right to freedom in religion and belief in Sunda Wiwitan community. According to UU No.1 of 1965 about Prevention of Misuse and or Blasphemy, the country has undertaken a discrimination towards the instiller of faith, due to the fact that only six religions are recognized by the country. In the process of observing in Cigugur, West Java, it was founded several negative impacts toward that regulation which is experienced by Sunda Wiwitan community. They face some difficulties in accessing their civil rights as the freedom of religion, education, employment, public service marriage certificate, birth certificate and legal identity in the form of KTP , and the right to legal aids. As a result, several vertical conflicts between the instiller of faith and government and horizontal conflicts between the instiller of faith and the other communities arise. The study also observed the solutions taken by the instiller of faith to solve the conflicts dispute. Accordingly, the suggestion of this study is the country should distinguish between the official religion and the instiller of faith. It is a form of country rsquo s obligation to respect, fulfill and protect the rights of its community. Without any discrimination, the instiller of faith in Sunda Wiwitan will be able to access their civil rights. |