ABSTRAK Tesis ini membahas tentang adanya fenomena konvergensi di sektor telekomunikasi dan teknologi informasi yang berupa layanan Over-the-Top OTT . OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Para pemain OTT ini dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator karena tidak mengeluarkan investasi besar, tetapi mengeruk keuntungan diatas jaringan milik operator. Data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia APJII menyatakan hampir 90 trafik lari keluar negeri untuk mengakses data. Dari sisi konektivitas, karena harus melayani trafik keluar negeri, operator pun harus membeli bandwidth internasional seharga US 218 juta per tahun. Dari sisi pajak malah ada potensi yang tak bisa diraup dari pemain asing sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun. Hal ini terasa memberatkan bagi operator telekomunikasi di Indonesia dan diwaktu yang bersamaan terdapat potensi pendapatan negara yang hilang. Karenanya Pemerintah berupaya membuat regulasi untuk mengatur layanan OTT dengan menerapkan tanggungjawab yang tepat bagi penyelenggara OTT tersebut untuk menjaga industri telekomunikasi di Indonesia agar tetap kondusif karena OTT dapat disalurkan karena adanya infrastruktur penyelenggara telekomunikasi, dan diwaktu yang bersamaan dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang baik pula bagi penyelenggaraan OTT di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa RPM OTT tersebut adalah hasil kompromi dari dua Undang-Undang yang ada yaitu UU Telekomunikasi dan UU ITE. Pengaturan yang terdapat dalam RPM tersebut sudah selaras dengan kedua Undang-Undang tersebut hanya saja belum komprehensif. Sehingga Pemerintah perlu mengambil langkah strategis lebih lanjut. ABSTRACT This thesis discussed the phenomenon of convergence in the telecommunications sector and information technology services such as Over the Top OTT . OTT is a player that is identical as filler of operator rsquo s data pipe. OTT players is regarded as a latent danger for operators because it doesn rsquo t emit huge investment, but achieve profit above operator rsquo s network. The Association of Indonesian Internet Service Provider APJII said nearly 90 of traffic to run out of the country, the operator must purchase international bandwidth for US 218 million per year. On the tax revenue side, instead there is potency that cannot be scooped from foreign players around Rp 10 trilion to Rp 15 trilion. It feel burdensome for telecom operators in Indonesia and the same time there is a potential state revenue loss. Government therefore working to make regulations to regulate OTT services with implementing appropriate responsibilities for the OTT organizers to maintain telecommunications industry in Indonesia in order to remain conducive for OTT channeled for their infrastructure telecommunication providers, and in the same time can create a good competition climate for the implementation of OTT in Indonesia. This study is a normative legal research using legislation approach. Result of this study is that the Draft of OTT Regulation is the result of a compromise of the two laws that exist, namely the Telecommunication Act and ITE Law. The arrangements contained in the Draft of the Regulation is already aligned with the both the Act but not yet comprehensive. So, the government needs to take a strategic step further. |