ABSTRAK Krisis ekonomi melanda Indonesia sejak Juli 1997, namun sampai dengan saat inibelum menunjukkan adanya perbaikan, bahkan kurs rupiah terhadap dolar Amerika terusmelemah. Salah satu jalan yang perlu ditempuh untuk keluar dari krisis ekonomi adalahmendorong ekspor, terutama ekspor produk industri yang berbasis sumber daya dalamnegeri (basic resource industry). Tanpa mendorong ekspor, mustahil Indonesia dapatkeluar dari krisis ekonomi. Salah satu industri yang berbasis sumber daya dalam negeri adalah kelapa sawit.Sejak krisis ekonomi, ekspor minyak sawit (CPO) Indonesia terus meningkat. Namunironisnya pada saat negara membutuhkan devisa, justru ekspor CPO dihambat. Hal initertuang dalam SK Menperindag No.456/MPP/Kep/12/1997, tentang alokasi pasokan didalam negeri yang mulai di berlakukan tanggal 19 Desember 1997 dan SK Menkeu No.622/KMK.01/1997 tentang Pajak Ekspor Tambahan (PET) mulai berlaku sejak tanggal 17Desember 1997. Karena peluang ekspor sangat menarik kebijakan tersebut tetap tidak bisamembendung produsen untuk mengekspor CPO, sehingga pada tanggal 30 Desember 1997pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih keras yaitu menghentikan ekspor CPO daribulan Januari sampai dengan bulan Maret 1998. Kebijakan tersebut menimbulkan berbagaireaksi dan protes dari berbagai pihak terutama pelaku bisnis CPO, akibatnya kran ekspordibuka kembali pada bulan April 1998, namun tetap dikenakan pajak ekspor sebesar 40persen dan dinaikan menjadi 60 persen, pada bulan Juli 1998 melalui SK Menkeu No.334/KMK/07/1998. Indonesia mempunyai keunggulan komperatif dalam industri kelapa sawit, saat iniIndonesia sebagai produsen maupun eksportir terbesar kedua di dunia setelah Malaysia.Kalau dilihat sebagai produsen terbesar kedua di dunia, seharusnya tidak ada masalahdengan suplai di dalam negeri. Bahkan di tahun 1996, produksi dikurangi konsumsi masihsurplus 2 juta ton. Namun karena harga CPO dunia terus meningkat, maka produsen lebihuntung mengekspor daripada menjual di dalam negeri. Akibatnya suplai di dalam negeriterganggu, dan dianggap memberikan kontribusi terhadap kenaikan harga minyak gorengdi dalam negeri. Sangat disayangkan kebijakan menghambat ekspor tersebut, karenakontribusi ekspor Indonesia terus meningkat. Sehingga ada kemungkinan citra Indonesiaakan buruk, apabila tata niaga CPO terus dicampuri oleh pemerintah, yang juga berakibatharga internasional terus meningkat. Walaupun hal ini merupakan dilema bagi pemerintah, namun sebenarnya adakebijakan lain yang mungkin lebih bijaksana yang harus ditempuh. Kebijakan subsidiminyak goreng yang dilakukan pemerintah selama ini sering tidak tepat sasaran, sebaborang yang mampu juga diberikan subsidi. Sebaiknya orang yang memang tidak mampumembeli diberikan bantuan langsung, misalnya dengan operasi pasar. Sebab pemakaiminyak goreng yang jumlahnya besar justru orang mampu, yang tidak perlu di subsidi. Melihat pasar CPO dunia yang baik, maka prospek agribisnis kelapa sawitIndonesia cukup cerah. Sebaiknya pemerintah terus mendorong pengembangan industri ini,karena produksinya terus meningkat. Sedangkan pesaing utama kita, yaitu Malaysia justrumengalami penurunan produksi. Moment yang baik ini harus bisa dimanfaatkan untukmelampaui pangsa pasar Malaysia. Namun untuk mendorong pengembangan industri iniharus dilakukan berbagai reformasi, terutama dalam hal pengurusan perijinan yang terlalubirokratis, serta koordinasi antar departemen yang masih kurang, yang berakibat tidakadanya kepastian bagi investor dalam melakukan investasi. Disamping itu, perbankan diIndonesia seharusnya mulai melirik ke industri ini, untuk membantu modal kerja sertapembiayaan ekspor. Perbankan harus mau membiayai industri ini karena industri inimempunyai prospek yang cerah. |