Disertasi ini membahas dinamika pariwisata di Hindia Belanda tahun 1891-1942. Dari perubahan penggunaan konsep vreemdelingenverkeer lalu lintas orang asing menjadi toeristenverkeer lalu lintas wisatawan di Hindia yang kemudian bermakna toerisme/ tourisme pariwisata dapat dilihat dinamika kegiatan pariwisata di wilayah tersebut, mulai dari kemunculan hingga keruntuhan.Tujuan utama penelitian ini adalah mengungkapkan dinamika kegiatan pariwisata di Hindia-Belanda, dari proses pembentukan embrio kegiatan pariwisata hingga situasi pada masa pendudukan Jepang. Pariwisata di sini adalah kegiatan yang merupakan konstruksi budaya dari barat yang dipraktikkan di Hindia, terutama kegiatan pariwisata yang diatur dan bersifat massal.Sebagai alat bantu analisis digunakan pendekatan siklus Arnold Toynbee yang diawali dengan kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan. Pendekatan ini dipadukan dengan konsep Tourism Area Life Cycle TALC dari Richard W.Butler, terutama digunakan untuk menganalisis perkembangan objek wisata di Hindia-Belanda. Ada tujuh tahap yang diajukan Butler. Tahap pertama berupa exploration penjelajahan, lalu involvement keterlibatan . Tahap berikut adalah development pembangunan, setelah itu consolidation konsolidasi. Berikutnya adalah stagnation stagnasi. Pasca stagnasi ada dua bagian yaitu decline penurunan dan rejuvenation peremajaan. Pendekatan lain adalah konsep asosiasi sukarela voluntary association dibantu dengan agency untuk menganalisis proses pembentukan berbagai organisasi/klub yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata.Hasil penelitian memperlihatkan bahwa embrio kegiatan pariwisata di Hindia muncul pada akhir abad ke-19. Kemunculan itu ditandai dengan kegiatan-kegiatan organisasi sukarela di beberapa kota besar di Hindia yang mengacu pada organisasi di negeri induk dan gagasan beberapa individu yang berprofesi sebagai pendeta, jurnalis, praktisi perhotelan, pegawai pemerintah. Kegiatan pariwisata di Hindia yang diatur ditandai dengan pembentukan Vereniging Toeristenverkeer perhimpunan pariwisata di Batavia pada 13 April 1908. Organisasi ini mengacu pada Kihinkai Welcome Society , perhimpunan pariwisata yang dibentuk pada 1893 di Jepang. Alasan keterlibatan pemerintah dalam kegiatan pariwisata adalah alasan ekonomi.Periode 1891-1908 merupakan periode kelahiran kegiatan pariwisata di Hindia yang diatur. Dilihat dari perkembangan objek wisata, periode ini merupakan tahap penjelajahan. Objek wisata yang dikunjungi berada di wilayah Jawa, beberapa wilayah di Sumatra. Periode 1908-1941 adalah periode pertumbuhan. Berbagai strategi promosi dirancang dan dilakukan. Pada periode ini jika dilihat dari perkembangan objek wisata masuk pada tahap keterlibatan dan sekaligus pembangunan. Objek wisata pada periode ini selain Jawa, Sumatra, Kepulauan Sunda Kecil Bali, Lombok , adalah Kepulauan Maluku, beberapa wilayah di Sulawesi. Namun, pada 1942 kegiatan pariwisata di Hindia mengalami keruntuhan karena masuknya pemerintah pendudukan Jepang. Oleh karena itu tahap berikut konsolidasi dan stagnasi tidak dialami oleh Hindia-Belanda. This dissertation discusses the dynamics of tourism in the Dutch East Indies in 1891 1942. From the change in the use of the concept of vreemdelingenverkeer foreigners rsquo traffic into toeristenverkeer tourist traffic in the Indies which then means toerisme tourisme tourism can be seen the dynamics of tourism activities in the region, from the emergence to the collapse.The main purpose of this study is to uncover the dynamics of tourism activities in the Dutch East Indies, from the process of formation embryo tourism activities to the situation during the Japanese occupation. Here, tourism is an activity that is a western cultural construction practiced in the Indies, especially organized and mass tourism activities.As an analytical tool, used Arnold Toynbee rsquo s cyclical approach that begins with birth, growth, and collapse. This approach is combined with the concept of Tourism Area Life Cycle TALC from Richard W. Butler, primarily used to analyze the development of tourist attractions in the Dutch East Indies. There are seven stages proposed by Butler. The first stage is exploration, then involvement. The next stage is development, then consolidation. After consolidation stage is stagnation. In the post stagnation stage there are two scenarios namely decline and rejuvenation. Another approach is the voluntary association and agency concept to analyze the process of establishing various organizations clubs relating to tourism activities.The results show that the embryo of tourism activities in the Indies emerged at the end of the 19th century. The emergence was characterized by voluntary organizational activities in several major cities of the Indies that referred to the organization of the motherland the Netherlands and the ideas of some individuals who worked as priest, journalist, hospitality practitioner, government officials. The organized tourism activities in the Indies are characterized by the establishment of the Vereniging Toeristenverkeer tourism association in Batavia on 13 April 1908. This organization refers to Kihinkai Welcome Society, a tourism association established in 1893 in Japan. The reasons for Dutch East Indies rsquo government involvement in tourism activities were largely economic.The period 1891 1908 was the period of birth of the organized tourism activities in the Indies. From the development of tourist attraction, this period is in the stage of exploration. Tourist attractions who visited are located in Java, some areas of Sumatra. The period 1908 1941 is the growth period of tourism activities. Various promotional strategies are designed and performed. In this period, viewed from the development of tourist attractions get into the stage of involvement and simultaneously development. Tourist attractions in this period addition to Java, Sumatra, the Lesser Sunda Islands Bali, Lombok, are the Maluku Islands, some areas of Sulawesi. However, in 1942 tourism activities in the Indies collapsed due to the entry of the Japanese occupation government. Therefore the stages consolidation and stagnation were not experienced by the Dutch East Indies. |