ABSTRAK Pemerintah mencantumkan pidana tambahan kebiri kimia pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan dokter sebagai eksekutornya. Kebiri kimia dilakukan dengan cara memasukkan zat kimia anti-androgen ke tubuh seseorang supaya produksi hormon testosteron di tubuh mereka berkurang. Hal ini menimbulkan pro maupun kontra, karena berdasarkan efek negatif yang signifikan, dokter menolak untuk dijadikan sebagai eksekutor kebiri, dengan alasan hal tersebut bertolak belakang dengan sumpah dan etik profesinya. Walaupun begitu, pemerintah tetap menganggap dokterlah yang paling kompeten menjadi eksekutor kebiri. Menggunakan studi literatur, serta pendapat dari narasumber, peneliti bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai aspek etik dan hukum pada profesi dokter, studi berbagai negara yang menerapkan hukuman kebiri pada pelaku kekerasan seksual, dan pandangan etik dan hukum apabila dokter menjadi eksekutor kebiri. Kesimpulan: Profesi dokter sangat menjunjung tinggi perikemanusiaan. Dengan melihat efek negatif dari kebiri, serta banyaknya anggapan bahwa kebiri melanggar hak asasi manusia, maka menjadi eksekutor kebiri tidak sesuai dengan sumpah dan etik profesi dokter. Namun, menurut hierarki perundang-undangan, Perppu No. 1 Tahun 2016 memiliki kedudukan hukum lebih tinggi dibanding dengan sumpah dan Kode Etik Profesi Kedokter an Indonesia. Selain itu, prinsip hukum lex posteriori derogate legi priori berlaku. Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Dokter harus tetap tunduk pada Peraturan Perundang-Undangan. ABSTRACT Government has put on the addition to the penalization for sexual offenders to the children sexual offence through penal castration, government has enacted the government regulation in lieu number 1 years 2016 regarding on the second amendment of the law number 23 years 2002 regarding the protection of the Childs, such amendment law has put medical doctor as an executor for penal castration. Chemical castration is the way of penalization by putting anti androgen to the defenders body so then the production of testosterone hormone will decrease. Such penal castration has raise am issues pros and cons , because of significant negative effects as result of the implementation of the penal, medical doctor through the doctor association has refuse the law by putting them as an executor because it is against their ethics and professional oath. Even though government still wants to implement the laws and medical doctor is the right professional to be an executor. Research methods of this thesis is based on literatures with descriptive analysis by depicting the role of medical doctor in general and as an executor for penal castration with based on the ethical and legal perspective. Furthermore, this thesis will describe the significance negative effects of the penal castration that against to ethics and professional oath. But, based on the hierarchy of laws, government regulation in lieu has higher position in the hierarchy compare to medical doctor code of ethics and their professional oath. Furthermore in vice versa, the legal argument has mentioned that medical doctor has to comply with the new laws in respect with the principle of lex posteriori derogate legi priori the law that has been promulgated later has rule out the previous laws . |