Konflik dan kekerasan di kecamatan Karangampel Indramayu : studi kasus tawuran antara warga Dukuh Jeruk dan Mundu tahun 1998-2000 serta resolusinya
Zamzami;
Robert Markus Zaka Lawang, supervisor; Seda, Francisia Saveria Sika Ery, examiner; Seda, Francisia Saveria Sika Ery, examiner; Daisy Indira Yasmine, examiner; Iwan Gardono Sudjatmiko, examiner
([Publisher not identified]
, 2007)
|
ABSTRAK Dukuh Jeruk dan Mundu adalah dua desa dalam wilayah kecamatan Karangampel yang kondisi penduduknya dari segi profesi lebih kurang menunjukkan adanya ketimpangan. Jumlah buruh tani di desa Dukuh Jeruk adalah empat kali lipat lebih banyak dibanding petani pemilik lahan sawah. Sedangkan di desa Mundu, perbandingannya hampir mencapai 2: 1. Struktur sosial ekonomi yang cenderung timpang itu beserta akibat-akibat sosial yang mengikutinya pada masa lalu juga telah memberi kontribusi terbentuknya budaya kekerasan (culture ofviolence) di wilayah ini. Akan tetapi, pada masa lalu budaya kekerasan itu -berkat kearifan lokal, terwadahi dalam kesenian rakyat seperti: (a) pertujukan adu jawara (centeng) pasca panen; (b) satron atau tradisi perang antar kelompok tani pasca panen menjelang musim tanam dan (b) sampyong, tradisi adu kekuatan kaki dengan sa ling mencambukkan rotan dalam bentuk duel satu lawan satu sebagai sarana mencari pemuda tangguh, jujur dan gagah berani. Kearifan lokal ini merupakan sistem budaya yang ada di masyarakat untuk mengembalikan konflik pada isu yang sesungguhnya yang bersifat realistik yaitu sumber-sumber ekonomi, seperti terpenuhinya aliran air ke lahan sawah dan kesempatan untuk menggarap sawah milik petani bagi para buruh tani. Akan tetapi, ketimpangan sosial ekonomi yang tetap terjaga serta semakin berkembangnya kebutuhan ekonomi warga Dukuh Jeruk dan Mundu sejalan dengan arus industrialisasi (terutama paska beroperasinya Pertamina di kedua desa tersebut sejak 1972, mengakibatkan terkikisnya kesenian yang berbasiskearifan lokal tersebut. Karena masalah perebutan sumber-sumber ekonomi (resources) semakin kompleks, maka bakat-bakat "kekerasan" sebagian kelompok masyarakat disalurkan pada bentrok fisik setiap kali terjadi pertentangan di antara mereka. Awalnya perseteruan yang terjadi bersifat individual tetapi kemudianberkembang menjadi konflik antar kelompok. Masalah pertanian yang cukup kompleks yang dialami oleh warga kedua desa (sebagaimana umumnya masyarakat petani Jawa) ditambah dengan keengganan para pemuda untuk bergelut di bidang pertanian tidak didukung oleh kapasitas mereka untuk beralih ke sektor industri, menyebabkan kelompok ini mengalami dislokasi dan disorientasi. Beroperasinya Pertamina sejak 1972 di kedua desa ini tidak menjadi tidak berarti apa-apa bagi mereka dan malah mendorong minat mereka untuk bermigrasi atau bekerja di sektor-sektor lain semakin tinggi, meskipun hanya menjadi buruh. Hubungan masyarakat Dukuh Jeruk dan Mundu tidak lepas dari berbagai konflik yang sering melibatkan kekerasan fisik, baik dalam konteks antar individu maupun tarwuran antar kelompok (desa). Pemicunya adalah masalah-masalah sederhana seperti perebutan sumber air di sawah, perebutan simpati kaum perempuan di kalangan para pemuda atau sekedar perasaan tersinggung akibat permintaan tak terkabul melalui pemalakan yang dilakukan oleh sebagian pemuda yang membiasakan diri dengan perilaku menyimpang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa, akumulasi masalah sosial ekonomi dan legitimasi budaya yang berasal dari kesenian adu jawara, sampyong dan satron yang bentuk dan nilai estetiknya sebagai sebuah kesenian telah memudar -sementara masalah-masalah perebutan resources tidak pernah berhenti, merupakan faktor yang melatar belakangi kekerasan. Yang pertama memberi basis realistik pada konflik sedangkan yang kedua memberi basis non realistik. Kolaborasi basis ini melahirkan komunalisasi pada saat pemicu konflik hadir di tengah-tengah masyarakat. Inilah yang kemudian mendorong kekerasan terjadi dalam konflik. Tawuran yang terjadi selama 1998-2000 antara warga kedua desa tersebut merupakan peristiwa fundamental di mana terjadi pergeseran dalam faktor-faktor tersebut, sehingga berakhirnya peristiwa tersebut menandai perubahan yangberarti di masyarakat. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kerugian-kerugian konflik serta peluang pengembangan usaha kecil dan menengah, termasuk pertanian yang terbuka pasca krisis 1997 mendasari lahirnya situasi kondusif resolusi konflik. Sehingga, sejak berkhirnya tawuran tiga tahun terse but, konflik-konflik yang terjadi tidak bisa lagi membangkitkan komunalisme buta. Adapun temuan di lapangan menunjukkan, faktor langsung yang berperan dalam meredakan konflik besar itu adalah: (1) strategis dan efektifnya pendekatan keamanan; (2) peran dan aksi simpatik para tokoh masyarakat dan pemerintah setempat; serta (3) rasionalitas dan penguatan sosial ekonomi. Di atas semua itu, sesungguhnya dinamika konflik antara warga Dukuh Jeruk dan Karangampel merupakan masalah pergeseran masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri modern. Oleh sebab itu, sejauh mana kekuatankekuatan sosial dan kultural masyarakat mampu beradaptasi dengan tuntutan-tuntutan industrialisasi, maka sejauh itu pula kekerasan-kekerasan dalam konflik bisa dieliminasi menjadi kompetisi yang wajar. |
T21908-Zamzami.pdf :: Unduh
|
No. Panggil : | T-Pdf |
Entri utama-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama badan : | |
Subjek : | |
Penerbitan : | [Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2007 |
Program Studi : |
Bahasa : | ind |
Sumber Pengatalogan : | LibUI ind rda |
Tipe Konten : | text |
Tipe Media : | computer |
Tipe Carrier : | online resource |
Deskripsi Fisik : | xiv, 123 pages; illustration; 18 cm + appendix |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI, Lantai 3 |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
T-Pdf | 15-18-209170621 | TERSEDIA |
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20463391 |