ABSTRAK Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Agung terkait putusan pengujian yang membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tata Tertib serta dilakukannya pemanduan sumpah atau janji terhadap pimpinan DPD yang terpilih pada tahun 2017 yang masih menjadi perdebatan. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan utama. Pertama, kewenangan MA dalam pengujian terhadap Peraturan Tata Tertib DPD. Kedua, konsekuensi hukum putusan pengujian peraturan tata tertib DPD terhadap kewenangan pemanduan pengucapan sumpah atau janji pimpinan DPD tahun 2017 oleh MA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif melalui studi kepustakaan dan pendekatan sejarah historical approach . Hasil penelitian ini menunjukan bahwaMAdalam melakukan pengujian terhadap peraturan tata tertib DPD adalah menjalankan fungsi peradilan yudisial dalam kewenangannya menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan, MA dalam melakukan pemanduan sumpah/janji pimpinan DPD adalah menjalankan fungsi administratif non-yudisial dalam kewenangan lain yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Secara formal, DPD telah menjalankan putusan MA, tetapi tidak secara substantif. Karena faktanya pemilihan pimpinan DPD yang baru tidak didasarkan pada putusan MA.Ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 Perma No.1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil yang memberikan jangka waktu selama 90 hari terhadap kekuataan hukum peraturan perundang-undangan yang dibatalkan menjadi salah satu alasan yang menempatkan MA dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, MA telah membatalkan peraturan tata tertib DPD, di sisi lain MA harus melaksanakan tugasnya untuk memandu sumpah/janji sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, MA juga tidak memiliki kapasitas untuk menilai keabsahan dari pemilihan pimpinan tersebut. ABSTRACT This thesis discusses about the authority of the Supreme Court regarding the current decisions of judicial review ofthe rules of procedure of DPD Number 1 of 2016 and Number 1 of 2017 as well as guidance of oath or pledge against elected DPD leaders in 2017 which is still a debate. This study raises two main issues. First, the authority of the Supreme Court in the judicial review of the Rules of Procedure of DPD. Secondly, the legal consequences on the authority of scouting oath or promise of DPD leadership in 2017 by MA. This research is using normative juridical method through literature study and historical approach. The results of this study shows that the supreme court in judicial review of law regulation under law against the 1945 Constitution ofthe Republic of Indonesia is implementing judicial functions. Meanwhile, the Supreme Court in conducting the oath of DPD pledge is implementing administrative functions non judicial in other authorities as determined by Law Number 17 of 2014 concerning MPR, DPR, DPD and DPRD juncto Law Number 14 of 1985 regarding Supreme Court. Formally, the DPD has implemented the Supreme Court 39 s decision, but not substantively. Due to the fact that the election of the new DPD leadership was not based on the Supreme Court 39 s Decision. The provisions in Article 8 paragraph 2 of No.1 of 2011 on the Material Test Rights which give a period of 90 days to the legal power of legislation is one of the reasons that put the MA in a dilemmatic position. On the other hand, the Supreme Court has annulment the DPD rules of procedures, the Supreme Court must carry out its duties to guide the oath pledge mandated by the law, the Supreme Court also does not have the capacity to assess the validity of the election of the leader. Keywords The Supreme Court rsquo s Authority, Judicial Review, Swearing Oath, DPD. |