ABSTRAK Terorisme menjadi isu yang menarik saat ini. Aktivitas dari terorisme dilakukan melalui provokasi doktrin ideologi dengan proses hegemoni. Terorisme memanfaatkan rasa frustasi dan kekecewaan pada sebagain masyarakat sebagai sasarannya. Terorisme sebagai sebuah diskursus masih berfokus pada upaya penegakan hukum, kerjasama antar lembaga pertahanan, analisis kebijaka hukum, dan definisi-definisi tentang terorisme. Ironisnya, perempuan khususnya istri menjadi sosok yang terekslusi dalam proses dialog dan respon mengenai terorisme. Padahal istri merupakan sosok yang penting dalam kehidupan para pelaku aksi terrisme. Penelitian ini menekankan pada pengalaman dan suara dari para istri mantan narapidana terorisme. Tulisan ini mengupas proses pergolakan, negosiasi, sekaligus penerimaan proses dari narasi ekstremis yang terdapat pada logika berfikir, sebagai sebuah perjuangan dalam konteks penerimaan dan otonomi diri. Penelitian ini menggunakan studi kasus sebagai jenis penelitian, dengan perspektif feminis, dan wawancara mendalam sebagai metode pengumpulan data. Pemikiran dari teori Konstruktivisme, pandangan Feminis tentang Otonomi Relasional dan Politik Kesalehan dipilih sebagai kerangka teori untuk menganalisis data hasil temuan. Hasil penelitian menunjukkan adanya doktrinasi dari suami tentang ajaran ekstremisme, istri mengalami pergulatan untuk menginternalisasi ajaran tersebut. Di sisi lain, ada pula temuan yang menunjukkan bahwa para istri juga melakukan negosiasi kepada sang suami dalam mengaplikasikan narasi yang telah berusaha diinternalisasikan. Seluruh upaya refleksi dan perjuangan berkelindan dalam pemikiran istri, untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimanapun, adanya negosiasi pada berbagai sisi relasi yang dimunculkan oleh sang istri memiliki respon yang beragam dalam usahanya dalam proses penerimaan maupun pergolakan. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa sosok istri mengalami sebuah proses konstruktivisme dan otonomi relasional dalam proses pergulatan dan negosiasinya selama ini. Rekomendasi dari penelitian ini dapat berkontribusi bahwa istri juga dapat dilihat sebagai agen untuk menangkal ekstremisme dan terorisme di masa mendatang. ABSTRACT Terrorism has become an important issue today. Activities of terrorism are undertaken through provocation to ideological doctrine with hegemonic process. Terrorism teaching exploits the frustration or disappointment of common people. Up to date, terrorism as a discourse issue still focuses predominantly on law enforcement, inter state cooperation, law analysis, and terrorism definition. Unfortunately, women especially wives become excluded in the process, dialogue, and response on this issue. Whereas, wives are the most important figures in the lives of the perpetrators of terrorism. This paper highlights the experiences and voices of the wives of terrorist prisoners. It examines the rebellion and acceptance process of extremism narrative that is going on within the wives rsquo minds a struggle of balancing acceptance and self autonomy. This paper also explores those experiences using case study as a research type feminist perspective and observation and in depth interview as data collection method. The thought of Feminism in Relational Autonomy and Politics of Piety is used as the theoretical analysis tool. The finding of this paper is that through indoctrination by their husbands, the wives were always encountered with ideas that they had to struggle to accept. However, on the other hand, it was also found that they eventually had to negotiate and came into compromise when applying those ideas in real life. The whole compromise reflects the struggle that was going on in their mind as they attempted to translate the doctrines into their practical life. However, at the same time, despite the negotiation they made in certain aspects of the doctrine, they seemed to still willingly and obediently accept certain other parts of the doctrine. This paper concludes that wives have certain degree of self autonomy in dealing with i.e. negotiating to accept or reject the indoctrination by their husbands. The conclusion is followed by some recommendations on what can possibly be contributed by the wives to counter terrorism narrative in the future. |