ABSTRAK Desakan terhadap Belanda untuk melepaskan Indonesia tidaklah secara serta-merta mengambil bentuknya bersamaan dengan berakhirnya PD II. Meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya sebagai sebuah Republik yang baru pada 17 Agustus 1945, kekuatan internasional terbesar ndash; yang saat itu dipegang oleh Amerika Serikat AS ndash; mulanya masih berpihak kepada Belanda yang berusaha menegakkan kekuasaannya kembali di wilayah bekas koloninya itu. Konteks ideologi, situasi, dan kepentingan melatarbelakangi keberpihakan itu. Dinamika benturan berbagai situasi dan kepentingan pula yang kemudian membuat arah keberpihakan itu berbalik pada akhir 1948.Untuk memahami seluruh proses dari selesainya PD II hingga Belanda betul-betul terdesak dan harus melepaskan Republik Indonesia untuk menjadi negara yang sepenuhnya merdeka, tesis ini mencoba mendekati permasalahan tersebut dengan melihat dari tiga aspek penting berdasarkan pemikiran Frame Poythress, yaitu aspek normatif, aspek situasional, dan aspek eksistensial. Aspek normatif adalah mengenai pemikiran dan ideologi-ideologi yang pada masa itu sedang berkembang di dalam kehidupan internasional. Sorotan terutama diarahkan pada konflik antara ideologi liberalisme dan komunisme, sebab kedua paham inilah yang saling berbenturan di dalam konteks Perang Dingin.Kondisi pasca PD II ndash; terutama bagi negeri Belanda dan Indonesia ndash; serta kontestasi Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet merupakan aspek situasional yang menaungi seluruh proses dekolonisasi Indonesia dari Kerajaan Belanda. Periode 1945 hingga pertengahan 1948 masih menjadi periode yang lebih cerah bagi Belanda, sebab AS masih berada di pihaknya, sekalipun Belanda sudah melancarkan lsquo;aksi polisionil rsquo;-nya yang pertama. Namun di akhir 1948, terutama karena pengaruh Peristiwa Madiun dan lsquo;aksi polisionil rsquo; kedua, keadaan sama sekali berubah bagi pemerintah Belanda. AS berbalik melakukan berbagai usaha untuk menekan Belanda supaya melepaskan Indonesia menjadi negara yang sepenuhnya merdeka.Sementara itu, kondisi dan pertimbangan-pertimbangan dari pihak Belanda sendiri, sekaligus usaha-usaha gagal terakhir yang masih dilakukan oleh pemerintahnya pada masa-masa terjepit, hingga tidak tersisanya pilihan lain bagi Belanda selain tunduk kepada tekanan AS dan PBB untuk melepaskan Indonesia, digambarkan sebagai aspek eksistensial, yaitu titik di mana Belanda sebagai sebuah negara harus mengambil pilihan tersebut. Namun, tesis ini juga menyatakan, bahwa walaupun Belanda harus kalah secara politik, perhitungan-perhitungan terakhir Belanda masih memungkinkannya untuk tidak mengalami kekalahan ekonomi yang sama telaknya. ABSTRACT The urge towards the Netherlands to release Indonesia did not emerge immediately following the end of WWII. Even though Indonesia had proclaimed its independence as a new Republic on August 17, 1945, the greatest international power ndash happened to be the United States ndash still preferred to back the Netherlands rsquo government, who was making full effort to reestablish power on its former colony. Various ideologies, situations, and interests formed the contexts for that preference. Later on, the conflicts of interests and situations will also be the cause for the shift of that preference in the second half of 1948.To understand the whole process from the end of WWII to the situation in which the Netherlands was left with no other choice but to acknowledge the independence of Indonesia, this thesis attempts to approach that issue by observing it through three important aspects based on the thought of Frame and Poythress the normative, situational, and existential aspects. The normative aspect puts its concern on the growing international thoughts and ideologies at the time. The attention will be focused on the conflict between liberalism and communism, the two clashing concepts of the Cold War.Post WWII conditions ndash specifically for the Netherlands and Indonesia ndash and the Cold War contestation between the USA and the Soviet are seen as the situational aspect of the whole Indonesian decolonization process. The years 1945 to mid 1948 were the brighter period for the Netherlands, for the USA still stood behind her, even after the first lsquo police action rsquo . But by the end of 1948, most influenced by the Madiun Uprising and the second lsquo police action rsquo , the situation shifted drastically for the Netherlands rsquo government. The USA took many efforts to urge her to release and to acknowledge the full independence of Indonesia.Meanwhile, internal condition and considerations of the Netherlands, and also the government rsquo s failing final attempts in its cornered position, to the point of having no other choice but to submit to the pressures of the USA and the UN to release Indonesia, described as the existential aspect. Yet, at the end, even though the Netherlands experienced great political loss, the government rsquo s final calculations has enabled the country not to swallow economic loss as great. |