Nikel merupakan logam hasil ekstraksi dari bijih sulfida, bijih laterit, dan batuan mineral laut dalam. Nikel banyak dibutuhkan di sektor industri logam paduan, baterai, electroplating, dan lainnya. Nikel biasanya diekstraksi dalam bentuk feronikel atau nikel murni sesuai kebutuhan industri. Bijih nikel yang paling banyak ditemukan di Indonesia merupakan mineral jenis laterit. Nikel laterit di Indonesia terbagi menjadi jenis limonit dan saprolit. Mineral jenis limonit memiliki kandungan nikel lebih rendah daripada jenis saprolit.Bijih nikel jenis saprolit biasa diolah dengan metode pirometalurgi dan jenis limonit diolah dengan metode hidrometalurgi, dimana hal ini ditentukan berdasarkan kandungan nikelnya. Proses hidrometalurgi bijih nikel laterit dilakukan dengan teknik pelindian menggunakan larutan asam sulfat pada temperatur tinggi untuk menghasilkan perolehan kadar nikel yang tinggi. Pada temperatur atmosfer, perolehan nikel bernilai rendah.Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi elektrokimia bijih nikel laterit menggunakan larutan asam sulfat pada temperatur atmosfer. Larutan asam sulfat yang digunakan divariasikan untuk penelitian ini dengan konsentrasi larutan 1 M, 2 M, 4 M, dan 6 M. Metodologi penelitian dilakukan dengan alur preparasi sampel dan larutan, karakterisasi dengan SEM-EDAX dan metode Petrografi, serta karakterisasi elektrokimia menggunakan metode OCP, EIS, dan LSV.Hasil dari ketiga pengujian tersebut menunjukkan laju pelarutan tertinggi terjadi pada pelarutan dengan konsentrasi 6 M. Peningkatan konsentrasi menurunkan nilai OCP pengujian. Berdasarkan uji LSV, lapisan pasif terbentuk pada pelarutan pada tiap konsentrasi. Peningkatan konsentrasi menyebabkan pemecahan lapisan pasif hingga konsentrasi 4 M, namun lapisan pasif terbentuk kembali pada peningkatan hingga 6 M berdasarkan uji EIS. Ketiga pengujian tersebut menunjukkan perilaku pelarutan meningkatnya laju pelarutan dengan penambahan konsentrasi, namun menimbulkan pembentukan kembali lapisan pasif pada konsentrasi asam melebihi 4 M. Nickel was an extracted metal from sulphide ore, laterite ore, and deep-sea mineral rocks. Nickel was needed in the industrial sector of alloy metal, batteries, electroplating, and others. Nickel was usually extracted in the form of pure ferronickel or nickel according to industrial needs. The nickel ore most commonly found in Indonesia was laterite type minerals. Laterite nickel in Indonesia was divided into limonite and saprolite types. Limonite minerals had lower nickel content than saprolite types.Saprolite type nickel ore was usually processed by the pyrometallurgical method and the limonite type was processed by the hydrometallurgical method, where was determined based on the nickel content. The hydrometallurgical process of laterite nickel ore was carried out by leaching technique using a solution of sulfuric acid at high temperatures to produce high nickel content. At atmospheric temperatures, recovery of nickel was low.Therefore, this study aimed to conduct an electrochemical caharacterization of laterite nickel ore using a solution of sulfuric acid at atmospheric temperature. The sulfuric acid solution used for this study was varied with concentration of 1 M, 2 M, 4 M, and 6 M. The research methodology flow was carried out first with sample and solution preparation, SEM-EDAX characterization and Petrographic method, and electrochemical studies using the OCP, EIS, and LSV methods.The results showed the highest dissolution rate occurred at dissolution of 6 M concentration. The increasing concentration decreased the OCP value. Based on the LSV test, a passive layer was formed at each concentration of dissolution. Increased concentration causes the breakdown of the passive layer for adding concentration to 4 M, but the passive layer was formed again at increasing concentration up to 6 M based on the EIS test. The electrochemical characterization revealed the dissolution behavior increased the dissolution rate with the addition of concentration, but caused the formation of the passive layer again at the acid concentration exceeding 4 M. |