ABSTRAK Represi merupakan salah satu strategi efektif yang dapat dimanfaatkan oleh suatu rezim untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun, pemanfaatan represi sebagai strategi mempertahankan kekuasaan memiliki biaya (cost) yang tinggi khususnya terhadap legitimasi bagi rezim. Oleh karena itu, represi umumnya dijadikan sebagai sebuah strategi paling akhir yang dimanfaatkan oleh rezim. Penelitian ini berusaha menjelaskan mengapa suatu rezim akhirnya memilih untuk memanfaatkan represi sebagai strategi mempertahankan kekuasaan. Pemaparan terhadap hal tersebut akan dilakukan melalui kasus di Kamboja pada konteks pemilu tahun 2018. Pada konteks pemilu tahun 2018, rezim berkuasa Cambodia Peoples Party (CPP) memanfaatkan represi untuk memenangkan pemilu dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Hal tersebut terlihat ketika dalam menghadapi pemilu tahun 2018, rezim melakukan penutupan dan penjualan paksa media independen, membubarkan partai oposisi utama Cambodia National Rescue Party (CNRP), serta membatasi hak politik dan sipil masyarakat dengan mengamandemen Konstitusi Kamboja dan UU Hukum Pidana pada awal tahun 2018. Merujuk kepada teori represi yang dipaparkan oleh Joshua dan Edel, penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan kondisi yang melatarbelakangi penggunaan represi oleh suatu rezim; karakteristik rezim, karakteristik negara, dan karakteristik tantangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa represi merupakan strategi yang dibutuhkan dan efektif bagi rezim CPP. Represi dibutuhkan oleh rezim ketika strategi alternatif yang tersedia berdasarkan karakteristik rezim CPP tidak lagi berfungsi efektif. Sementara itu rezim juga dihadapkan pada tantangan keberadaan CNRP dalam arena pemilu. Memiliki kedekatan dengan angkatan bersenjata, rezim akhirnya memanfaatkan represi untuk memenangkan pemilu tahun 2018 dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Penggunaan represi tersebut juga didasari oleh kesatuan angkatan bersenjata atas dasar hubungan personal dengan pemimpin rezim, Hun Sen, serta kapasitas angkatan bersenjata yang luas menjadikan represi sebagai strategi efektif. ABSTRACT Repression is one of the most effective strategy that can be used by a regime to stay in power. Yet, using repression as a strategy to stay in power would be too costly especially for regimes legitimacy. Hence, repression mostly seen as the last option for a regime. This research aims to understand why regime choose repression as a strategy to stay in power, using the case of Cambodia in the context of 2018 general election. In the context of 2018 general election, the regime in power Cambodia Peoples Party (CPP) used repression to win 2018 Cambodia National Election. The use of repression could be seen when the regime: closed and sold independent media; dissolved the main opposition party, Cambodia National Rescue Party (CNRP); and restricted peoples political and civil right by amending Cambodia Constitution and Penal Code in early 2018. Using Joshua and Edels Theory of Repression, this research explains all the circumstances that lead to the use of repression by a regime: regime characteristics, state characteristics, and challenge characteristics. This research concludes by arguing that repression is needed and effective for CPP to win 2018 Cambodia National Election in order to stay in power. Repression is needed especially when all of alternative strategies were no longer effective for CPP Regime. Regime also faced a challenge in the presence of CNRP in election arena. In addition, CPP Regime has a close ties with armed forces. Therefore, CPP regime used repression to win 2018 National Election. In addition to that circumstances, Cambodia armed forces has a cohesion determined by personal ties with Hun Sen and a large capacity to repress. |