Di tengah berbagai penyalahgunaan otoritas dan kejahatan yang dilakukan korporasi, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi yang mengatur bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan korporasi dengan mempertimbangkan apakah korporasi telah melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana. Demikian pula, Section 7 (2) United Kingdom Bribery Act juga memperkenalkan konsep serupa dalam hal korporasi gagal melakukan upaya pencegahan tindak pidana suap. Skripsi ini membahas dua hal utama yaitu: (1) apakah yang dapat disebut sebagai prosedur yang memadai bagi perusahaan untuk menghindari pertanggungjawaban pidana baik di Indonesia dan Inggris, dan (2) apakah persamaan dan perbedaan prosedur ini dalam aturan di Indonesia dan Inggris. Dengan menerapkan penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan peraturan, teoretis, dan komparatif, skripsi ini menyimpulkan bahwa pertanyaan tentang kapan dan bagaimana prosedur yang memadai diterima sebagai dasar alasan pertanggungjawaban pidana perusahaan hanya dapat dijawab oleh pengadilan dan setiap kasus akan tergantung pada faktanya masing-masing. Dengan demikian, penegak hukum dan jaksa penuntut harus memahami sifat pembelaan ini, bahwa harus ada margin untuk kesalahan dalam melaksanakan itikad baik. Adapun untuk korporasi di Indonesia dan Inggris, mengingat fakta bahwa tidak semua korporasi bergerak di industri atau pasar yang sama, perusahaan harus menyesuaikan program pencegahan mereka agar dapat disebut sebagai prosedur yang memadai untuk menghindari pertanggungjawaban pidana.
In the wake of extraordinary corporate power and frequent corporate scandals, Indonesian Supreme Court has issued a Supreme Court Rule Number 13 of 2016 on Procedures for Handling Criminal Offences by Corporation which stipulated that in imposing criminal penalties on Corporations, judges can assess corporate faults by taking into consideration whether corporations take or do not take adequate procedure to take precautions, prevent greater impacts and ensure compliance with applicable legal provisions to avoid the occurrence of criminal acts. Similarly, Section 7 (2) of United Kingdom Bribery Act 2010 also introduced this adequate procedure defense in terms of “Corporate Liability for failure to prevent bribery”. This undergraduate thesis explores two main issues: (1) what constitute as adequate procedures for corporations to evade criminal liability both in Indonesia and United Kingdom, and (2) what are the similarities and differences between adequate procedure defense in Indonesia and United Kingdom. By applying the normative legal research using the statute, theoretical and comparative approach, this undergraduate thesis concludes that the question of when and how an adequate procedure is accepted as grounds of excuse in corporate criminal liability is only to be resolved by the courts and each case will depend on its own facts. Thus, law-enforcement authorities and prosecutors should understand the nature of this adequate procedure defense, which means that there must be a margin for good faith error. As for businesses, given the fact that businesses are not all alike, companies must tailor their program to address the compliance issues specific to their industry or market. |