Kewajiban negara dalam penyelamatan persons in distress di laut = State's obligation in rescuing persons in distress at sea
Dominique Virgil;
Hikmahanto Juwana, supervisor; Arie Afriansyah, supervisor; Sidik Suraputra, examiner; Purba, Achmad Zen Umar, examiner; Warouw, Adolf, examiner; Emmy Juhassarie Ruru, examiner; Adijaya Yusuf, examiner
(Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020)
|
Meningkatnya perpindahan pengungsi dan pencari suaka di berbagai belahan dunia, terutama melalui laut, diikuti dengan kasus kematian mereka di laut. Tidak hanya itu, nasib pengungsi dan pencari suaka juga diperparah dengan tindakan negara yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk menyelamatkan pengungsi dan pencari suaka, bahkan tidak mengizinkan mereka untuk masuk ke wilayahnya, dengan mendorong perahu pengungsi tersebut ke laut. Walaupun praktik negara itu baru mendapat perhatian pada krisis pengungsi di Laut Mediterania, Indonesia, Malaysia, dan Thailand juga juga melaksanakan praktik push-back policy terhadap para pengungsi Rohingya. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji keberlakuan hukum internasional dalam praktik Indonesia, Malaysia dan Thailand pada krisis pengungsi di Laut Andaman dan Teluk Bengal dengan menggunakan metode yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada praktiknya ketiga negara tersebut tidak melaksanakan kewajibannya dalam hukum internasional untuk menyelamatkan persons in distress di laut terlepas dari status maupun kewarganegaraannya, serta prinsip non-refoulement, dan temporary rights of disembarkation. Dapat disimpulkan bahwa negara lebih enggan untuk melaksanakan kewajibannya dalam menyelamatkan persons in distress karena persons in distress tersebut adalah pengungsi dan pencari suaka. The increasing number of refugees and migrants crossing international boundaries by sea is followed by the cases of casualties, even deaths, in the middle of the sea. Besides, the fate of refugees and asylum-seekers that are crossing the sea is worsened by States that do not comply with their international obligations to rescue them, even by not allowing them to enter to the States territory and pushing them back or towing the boats back to the sea. Although such practices were just recognized in the refugee crisis in Mediterranean Sea, Indonesia, Malaysia and Thailand also did push-back policy towards Rohingya refugees that are moving by boats. This article aims to analyze the implementation of international law in the practice of Indonesia, Malaysia, and Thailand in the Andaman Sea and Bengal Bay Refugee Crisis. The result shows that in practice, those countries do not comply with their international obligations to rescue people in distress at sea regardless of their status or nationality, as well as the principle of non-refoulement and temporary rights of disembarkation. It can be concluded that States are more reluctant to fulfill its obligation to rescue persons in distress at sea when they are refugees and asylum-seekers. |
S-Dominique Virgil.pdf :: Unduh
|
No. Panggil : | S-pdf |
Entri utama-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama orang : | |
Entri tambahan-Nama badan : | |
Subjek : | |
Penerbitan : | Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020 |
Program Studi : |
Bahasa : | ind |
Sumber Pengatalogan : | LibUI ind rda |
Tipe Konten : | text |
Tipe Media : | computer |
Tipe Carrier : | online resource (rdacarries) |
Deskripsi Fisik : | xv, 140 pages : illustration |
Naskah Ringkas : | |
Lembaga Pemilik : | Universitas Indonesia |
Lokasi : | Perpustakaan UI |
No. Panggil | No. Barkod | Ketersediaan |
---|---|---|
S-pdf | 14-22-77197381 | TERSEDIA |
Ulasan: |
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20493593 |