:: UI - Disertasi Membership :: Kembali

UI - Disertasi Membership :: Kembali

Pembelajaran Bahasa Mandarin dan (Re)Posisi Identitas Indonesia Tionghoa Kontemporer = Mandarin Learning and Contemporary Chinese-Indonesian Identity (Re)Positioning

Lu Li Qian Qian; Manneke Budiman, promotor; Nurni Wahyu Wuryandari, co-promotor; Dhita Hapsarani, examiner; Melani Budianta, examiner; Esther Harijanti Kuntjara, examiner; Tambunan, Shuri Mariasih Gietty, examiner; Rahadjeng Pulungsari Hadi, examiner (Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019)

 Abstrak

Di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan meningkatnya fenomena Rising China, terjadi peningkatan jumlah sekolah yang mengajarkan pelajaran bahasa Mandarin. Peningkatan ini sebagian juga disebabkan oleh berakhirnya periode Orde Baru yang membuka luas kesempatan bagi keturunan etnis Tionghoa untuk mendapat pendidikan bahasa Mandarin. Tren tersebut memunculkan pertanyaan, apakah terbukanya kembali kesempatan belajar bahasa Mandarin pada etnis Tionghoa tersebut menimbulkan adanya re-asersi ke-'Tionghoa'-an di antara etnis Tionghoa di Indonesia yang berorientasi akhir pada 'negeri leluhur' (Tiongkok) atau lebih didasarkan pada pandangan kosmopolitan yang tidak mempertimbangkan batasan lintas etnis sebagai bagian penting dari identitas mereka? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, pendekatan etnografis, observasi dan survei terhadap para orangtua siswa etnis Tionghoa (baca: Indonesia-Tionghoa) yang lahir pada periode Orde Baru. Para responden yang diobservasi tersebut telah menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang mempunyai kurikulum pelajaran bahasa Mandarin.
Observasi dilakukan di tiga kota terbesar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Medan. Alat analisis yang digunakan adalah teori identitas, fenomena resinisisasi, konsep esensialisme dan stereotip, kosmopolitan dan globalisasi yang akan digunakan sebagai kerangka utama untuk membahas masalah ini. Temuan penelitian ini adalah, melalui pembelajaran bahasa Mandarin, telah terjadi re-(posisi) identitas. Identitas yang masih melekat kuat adalah identitas etnis dan identitas historis. Sementara itu, identitas komunal masih terlihat, tetapi relatif sedikit muncul pada sebagian responden. Dari deretan identitas tersebut, identitas yang begitu kuat muncul adalah identitas etnis dan identitas historis, yang tercermin melalui orientasi dan motivasi untuk meningkatkan ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Ketiga orientasi ini merupakan bagian dari identitas historis yang melekat pada orang Tionghoa, seperti rajin mencari uang dan mudah adaptasi di mana pun. Sementara itu identitas etnis digambarkan melalui keinginan kuat untuk belajar berbahasa Mandarin dengan tujuan baru yaitu melihat peluang-peluang dari fenomena 'Rising China' dan unggul dalam peradaban melalui teknologi.
Temuan-temuan dari penelitian juga menunjukkan bahwa (1) sebagian besar responden merasa bangga akan negeri leluhur, tetapi mereka tidak ingin pindah ke negeri Tiongkok, (2) mereka mempunyai nama Tionghoa tapi sudah tidak menggunakannya di dalam dokumen resmi. (3) ketika di luar negeri, mereka lebih ingin diidentifikasi sebagai orang Indonesia-Tionghoa. Berdasarkan temuan tersebut, terlihat bahwa fenomena resinisisasi yang terjadi pada etnis Tionghoa di Indonesia pada umumnya merupakan koneksi sosio-kultural dan bukan politis. Pandangan esensialisme dan stereotip memang membentuk rasa bangga terhadap negeri leluhur, tetapi hal tersebut tidak signifikan terlihat. Selain itu, gagasan kosmopolitan dan globalisasi yang dinamis dapat lebih membantu untuk mendefinisikan identitas orang Indonesia-Tionghoa Bahasa Mandarin dan pembelajaran bahasa Mandarin di Indonesia oleh orang Indonesia-Tionghoa tidak hanya sebagai bentuk resinisisasi etnis, tetapi juga re-posisi peran bahasa Mandarin sebagai bagian dari identitas budaya kosmopolitan.

In Indonesia, there has been an increase in the number of schools that offer Mandarin language lessons in recent years, alongside the increasing 'Rising China' phenomenon. This increase was also partly due to the collapse of Indonesia's New Order government which opened opportunities for Chinese-Indonesian descendants to obtain Mandarin education. The trend raises the question, whether the reopening of opportunities to learn Mandarin has led to the reassertion of 'Chinese-ness' for Chinese-Indonesians which is oriented towards the 'ancestral homeland' (China), or is it based on a cosmopolitan view that considers cross-ethnic boundaries as an important part of their identity? This study uses qualitative method, ethnographic approaches, observations and surveys of parents of students (Chinese-Indonesian) who were born and raised during the New Order period. Respondents are the ones that have sent their children to schools that have a Mandarin language curriculum.
The research was carried out in the three largest cities in Indonesia, namely Jakarta, Surabaya and Medan. The analytical tool used is identity theory, the phenomenon of re-sinicization, the concept of essentialism and stereotypes, cosmopolitanism and globalism, which will be used as the main framework to discuss the issues. The findings of this study show through learning Mandarin, there has been a re-positioning of identities. Identities that are still inherently strong are ethnic identity and historical identity. Meanwhile, though communal identity is still visible, it only appears in relatively few respondents. From the aforementioned identities, identities that seems to be strong are ethnic identity and historical identity, which are reflected through orientation and motivation to improve economy, education and access to technology. Meanwhile, ethnic identity is portrayed through a strong desire to learn Mandarin with a new goal of seizing the opportunities offered by the 'Rising China' phenomenon and excelling through the mastery of technology.
The findings of the study also showed that (1) most respondents felt proud of their ancestral homeland, but they did not want to move to China, (2) they had Chinese names but did not used them in official documents. (3) when abroad, they would rather be identified as Chinese-Indonesians. Based on these findings, it can be seen that the phenomenon of re-sinicization that occurred amongst the Chinese-Indonesians in general is a socio-cultural and not political phenomenon. While essentialism and stereotypes indeed form a sense of pride for the ancestral homeland, this is not significant. In addition, the idea of cosmopolitanism and x dynamic globalism help redefine the identity of Chinese-Indonesians. Mandarin language learning in Indonesia by Chinese Indonesians is not only a form of re-sinicization, but also a re-positioning of the role of the Mandarin language as part of a cosmopolitan cultural identity.

 File Digital: 1

Shelf

 Metadata

No. Panggil : D2639
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resources
Deskripsi Fisik : xv, 227 pages : illustration ; 28 cm
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D2639 07-20-412555388 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20494073