ABSTRAK Di dunia yang penuh dengan sensasi dan skandal internet, seorang YouTuber terkenal bernamaLogan Paul muncul dengan membawa salah satu kontroversi internet terbesar di awal tahun 2018.Skandal tersebut tidak lain adalah terekamnya mayat di dalam vlog-nya selama kunjungannya keHutan Bunuh Diri di Jepang. Meskipun ia telah meminta maaf atas kesalahannya, nampaknya iamasih gagal untuk meyakinkan audiensnya. Ada beberapa analisis tentang permintaan maafnyayang dibuat untuk melihat apakah ia tulus atau tidak. Di antara analisis-analisis yang ada, belum adayang menganalisis permintaan maafnya dari perspektif linguistik. Untuk mengisi kesenjangantersebut, penelitian ini dilakukan untuk mempelajari permintaan maaf dari sudut pandang linguistik.Menggunakan metode dan kerangka kerja kualitatif oleh Blum-Kulka, House & Kasper (1989),Benoit (1995), Schmitt, Gollwitzer, Förster & Montada (2004), dan Lutzky & Kehoe (2017),makalah ini akan mengungkapkan bahwa upaya permintaan maaf Paul yang pertama tidak cukupdan bahwa permintaan maaf yang kedua lebih terlihat bersifat minta maaf. ABSTRACT In the world full of Internet sensations and internet scandals, a famous YouTuber named Logan Paulraised to the occasion by bringing one of the biggest internet controversies in the beginning of 2018,which was the filming of a dead body that he found during his visit to the Japanese Suicide Forest.Although he apologized for his mistakes, the audience just was not convinced by his words. Therehave been some analyses about his apologies made to see whether he was being sincere or not.Among these analyses, there has never been one that analyzes his apologies from the perspective oflinguistics. To fill the gap, this research was conducted to study the apology from the linguisticspoint of view. Using qualitative method and frameworks by Blum-Kulka, House & Kasper (1989),Benoit (1995), Schmitt, Gollwitzer, Förster & Montada (2004), and Lutzky & Kehoe (2017), thispaper reveals that Pauls first attempt at apologizing was not apologetic enough and that his secondapology was more apologetic. |